Sunday, May 11, 2014

Kemanakah Telepon Sahabat Anak (TESA 129) dan P2TP2A?!?

"Layanan PA yang disediakan Pemerintah Mati Suri"

By, Yuyum Fhahni Paryani - CBCP Speciliast Plan Indonesia


Menonton para pemerhati anak  terhadap kekerasan anak di Metro TV, membuat sedikit bingung dengan komentar komentar yang mereka sampaikan. Terlihat, beberapa pihak hanya bicara pada taratan teori teori saja. Tak ada gebrakan nyata yang bisa dilakukan. Mengutip apa yang disampaikan psikholog anak Elly Rusman mengatakan dengan geram “tak hanya pada predator anak adalah orang dewasa, tetapi pelaku juga masih dalam usia anak. Ini bukan kejahatan, tetapi memang penyakit dan butuh rehabilitasi mental bagi para pelaku dan juga keluarganya. Penjara bukanlah tempat yang tepat untuk predator,’ ujar Elly Rusman. Sementara presenter lainnya, mengatakan tidak adanya layanan rujukan untuk kasus kasus anak, serta adanya persoalan hukum yang perlu diperbaiki.

Barita di televisi hari ini (minggu, 11 May 2014), bahwa anak anak yang menjadi korban Emon alias Ahmad Sobari (24), kini menjadi bahan olok olokkan masyarakat sekitar. Siapa yang bisa menjamin bahwa anak anak korban kekerasan sexual tidak mengalami kekerasan lagi, apakah  masyarakat sekitar sudah terdewasakan dengan hak hak anak dan perlindungan anak? Terkesan, tak ada yang peduli, semua pihak hanya terfokus pada kejadian saja, pelaku di jerat hukum, anak anak di periksa dan diminta keterangannya.
Apakah anda tahu, bahwa pemerintah melalui beberapa Kementerian sudah membuat layanan Perlindungan Anak? Beberapa diantaranya,adalah:

1.   TESA 129 (Telepon Sabahat Anak 129), melalui 3 Kementerian (KPPA, Kemensos, dan Keminfo) telah menyediakan layanan Telepon Sahabat Anak 129  (TESA 129) yang baru bisa diakses melalui hanya telp kantor/rumah saja. Telp ini disediakan bagi anak anak yang membutuhkan perlindungan atau berada pada situasi darurat atau emergency. TESA 129 juga menyediakan layanan informasi, konsultasi dan konseling seputar kehidupan anak, serta layanan pengaduan dan rujukan.   

2.   P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak), umumnya mereka di bentuk dengan SK Gubernur/Bupati. Pembentukan P2TP2A ini merupakan  melayani perempuan dan anak korban kekerasan, menyediakan layanan informasi, konseling, perawatan psikhology, advokasi, masihat hukum dan pelayanan kesehatan rujukan dan rumah aman, secara gratis. P2TP2A dibawah koordinasi Badan Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPKB). Beberapa Pemerintah daerah, juga mendorong terbentuknya P2TP2A (PPT) di tingkat kecamatan.
Kami Anak Berkebutuhan Khusus, Punya hak yang sama
3.   RPSA (Rumah Perlindungan Sosial Anak) merupakan trauma centre (pusat pemulihan), yang diperuntukkan bagi anak anak yang membutuhkan perlindungan khusus, yaitu anak korban trafficking, korban kekerasan dan perlakuan salah, anak berhadapan dengan hukum, dan anak yang terpisah. RPSA saat ini hanya berada di level provinsi dan jumlahnya masih sangat terbatas.

Berdasarkan data, pusat pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan dan anak (P2TP2A) telah terbentu sebanyak 247 kab/kota di 33 provinsi. Dari 247 kab/kota yang telah terbentuk, baru 125 kab/kota menuju Kota Layak Anak (KLA).500 Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) telah terbentuk  di Mapolres, serta terbentuk 123 layanan korban kekerasan berbasis rumah sakit[i]. Sementara TESA 129, belum ada laporan yang mendukung terbentuknya di kab/kota.

Ketersediaan layanan perlindungan anak ini, selayaknya menjadi leading sector untuk masalah masalah anak ini, tampak bergeming. Tidak ada satu media pun yang memberitakan layanan perlindungan anak yang telah disediakan oleh pemerintah Indonesia.
TESA 129 yang seharusnya banyak diakses oleh anak anak, tak banyak diketahui oleh anak anak. P2TP2A punterdengar asing bagi masyarakat, tak banyak yang tahu jika ada layanan terpadu perlindungan anak. Bisa jadi, baru ada kejadian semua layanan yang tersedia baru sibuk mengaktifkan kembali fungsi yang sebenarnya. Padahal untuk membuat layanan telp atau helpline  (TESA 129) dan P2TP2A memakan biaya dan waktu yang cukup lama.
Beri kami Akses untuk Melaporkan
Setidaknya, kasus Emon (alias Ahmad Sobari) di Sukabumi misalnya, telah menghenyak banyak orang. Anak yang menjadi kebejatan sexualnya, memakan korban sebanyak 120 anak. Siapa menyangka, di Desa yang aman damai dan tenteram ternyata memelihara “Monster Anak”. Masyarakat sekitar pun tak pernah ada yang tahu apa yang terjadi pada anak anak mereka. Seakan komunikasi yang dibangun oleh anak bersama orang tua tertutup blok atau dinding yang tebal untuk hal hal spesifik (masalah sexual).

Jangan kan menelpon TESA 129 atau mengakses P2TP2A, membangun komunikasi internal (antara orang tua dan anak) saja tak terjadi, apalagi melapor ke P2TP2A. Apakah ada catatan data yang masuk (data base) dari orang orang yang melapor ke TESA 129 atau P2TP2A?  Ada pasti, tapi mungkin bisa di hitung dengan jari.
Sebagus apapun program atau layanan yang diberikan oleh pemerintah sudah selayaknya harus digaungkan sebesar besarnya agar bisa di akses oleh anak dan masyarakat. Perlu di kaji ulang kefektifan akses layanan perlindungan anak ini ke depan, sehingga betul betul mampu melindungi anak indonesia.

Kepedulian masyarakat untuk melindungi anak mereka juga perlu dibangkitkan melalui "perlindungan anak berbasis masyarakat" sebagai deteksi dini. Jika disadari sejak awal pentingnya layanan perlindungan anak ini (TESA 129, P2TP2A, dibentuk Perlindungan Anak Berbasis Masyarakat), mungkin kekerasan terhadap anak mampu kita cegah sejak dini.




[i] Lakip kpp dan pa, tahun 2013

3 comments:

  1. Share terus Yum. Agar masyarakat dapat menilai kinerja lembaga-lembaga yang makan pajak rakyat. Tapi tak berbuat apa-apa untuk rakyat.

    ReplyDelete