Monday, May 26, 2014

MENYOAL REVISI UNDANG UNDANG PERLINDUNGAN ANAK No 23 TAHUN 2002


APAKAH SUDAH DILAKUKAN KAJIAN MENDALAM?”
Oleh; Yuyum Fhahni Paryani – CBCP Specialist Plan Indonesia

Genap dua belas (12) tahun sudah Undang Undang Perlindungan Anak diterbitkan. Perjuangan rekan rekan yang bergerak di bidang anak pun tak sia sia tentunya setelah pemerintah Indonesia menerbitkan UUPA tersebut. Kendati terkesan lambat, sejak ratifikasi Konvensi Hak Anak (United Nations Convention on the Rights of the Child (UNCRC) dengan  KEPUTUSAN PRESIDEN no. 36/1990 (selama 12 tahun), tetapi patut kita syukuri bahwa di Indonesia sudah ada UUPA No 23 tahun 2002. Hanya saja, sepanjang waktu berjalan, sangat disayangkan banyak masyarakat bahkan pemangku kewajiban belum banyak yang tahu bahkan belum pernah mendengar adanya undang undang tersebut.  Tak sedikit, para pemerhati anak atau lembaga lembaga yang fokus pada anak, mulai mempertanyakan isi dari undang  undang tersebut.

Membaca disebuah website KPAI (Komite Perlindungan Anak Indonesia), mereka mengajak 1 Juta tangan  untuk mendukung revisi undang undang perlindungan anak. “Kami ingin hukuman bagi pelaku bukan maksimal 15 tahun penjara, melainkan hukuman mati.Undang-Undang Perlindungan Anak saat ini dipandang belum menimbulkan efek jera bagi pelaku. Hukuman seumur hidup atau hukuman mati perlu diterapkan terhadap pelaku kekerasan dan kejahatan seksual. kata Ketua Komunitas Parenting Cibubur Eva Dewi di Gedung Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jakarta, Senin (5/5/2014).

Sayangnya, isi dari ajakan tersebut kurang mendasar dan tidak disertai kajian ilmiah untuk merubah Hukum di Indonesia. Mengapa kita perlu merevisi, apakah hanya melihat sisi ancaman 15 tahun yang tidak cukup pada pelaku predator anak atau memang sudah ada kajian mendalam bahwa UUPA 23 tahun 2002 tersebut memang layak untuk di revisi?. Hingga saat ini, belum ada kajian mendalam dari berbagai pihak untuk merevisi undang undang tersebut, agar memiliki alasan yang kuat untuk merevi dan membuat kebijakan yang memang betul-betul melindungi anak Indonesia. Bukan sebagai tindakan yang reaktif sesaat.

Secara global, jika membicarakan Perlindungan Anak , umumnya merujuk pada  KHA pasal 19 yaitu negara negara peserta akan mengambil semua langkah langah legislatif , administratif, sosial dan pendidikan untuk melindungi anak dari semua bentuk kekerasan fisik dan mental, cidera atau penyalahgunaan, penelantaran atau perlakukan salah atau eksploitasi, termasuk penyalahgunaan seksual, sementara berada  dalam asuhan orang tua, wali atau  orang lain yang memelihara anak.

UNICEF (United Nations of Children's Fund) menggunakan istilah perlindungan anak untuk merujuk pada pencegahan dan tanggapan/respon  terhadap kekerasan, eksploitasi, dan penyalagunaan pada anak – termasuk  eksploitasi sexual komersial,  perdagangan manusia, pekerja anak, dan praktek praktek tradisional yang berbahaya seperti sunat pada anak perempuan dan perkawinan anak[1].

Dalam  Konvensi Hak Anak (KHA) yang terdiri dari 54 pasal. Khusus untuk Hak Perlindungan “ Menjaga Keamanan dari Bahaya”[2], protection list by UNICEF menyebutkan beberapa article terkait perlindungan anak antara lain:  Pasal 4 (Hak Perlindungan): Pasal 11 (Penculikan); Pasal 19 (Perlindungan dari segala bentuk kekerasan); Pasal 20 (Anak-anak kehilangan dari lingkungan keluarga);  Pasal 21 (Adopsi): Pasal 22 (Anak-anak pengungsi); Pasal 32 (pekerja anak): Pasal 33 (penyalahgunaan obat/Napza); Pasal 34 (Eksploitasi seksual); Pasal 35 (penculikan, penjualan dan perdagangan): Pasal 36 (bentuk lain dari eksploitasi); Pasal 37 (Penahanan dan hukuman); Pasal 38 (Perang dan konflik bersenjata): Pasal 39 (Rehabilitasi dari korban anak): Pasal 40 (keadilan Juvenile); Pasal 41 (Menghormati standar nasional superior)

Jika mengkaji UUPA No 23/2002,  terdiri dari 93 pasal  yang berisikan tentang: bagian 1. Pengertian Anak; bagian 2. Pelindungan Anak (Definisi Anak; Kewajiban dan Tanggungjawab negara dan Pemerintah; Kewajiban dan Tanggung Jawab Orangtua; Kewajiban dan Tangungjawab Keluarga); bagian 3. Penyelenggaraan Perlindungan Anak (Asas Perlindungan, Penyelenggaraan Perlindungan di Bidang Agama; Penyelenggaraan Perlindungan Anak di Bidang Kesehetan; Penyelenggaraan Perlindungan Anak di Bidang Pendidikan; Penyelenggaraan Pelindungan di Bidang Sosial; Penyelenggaraan Pelindungan di Bidang Perlindungan Khusus); bagian 4. Hak dan Kewajiban Anak (Hak Anak dan Kewajiban Anak); bagian 5. Kedudukan Anak (Definisi Kedudukan Anak; Identitas Anak Dalam Akta Kelahiran; Kedudukan Anak dari Perkawinan Campuran); bagian 6. Bentuk Alternatif Orangtua Pengganti (Orangtua Asuh dan Pengasuhan, Pengangkatan Anak); bagian 7. Peran masyarakat dalam perlindungan anak; bagian 8. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (Definisi KPAI; Keanggotaan KPAI; Tugas KPAI); 9. Ketentuan pidana di dalam UUPA[3]

Jika kita mencermati apa yang tersaji dalam UUPA no 23/2002, jelas kita melihat perbedaan yang sangat significant di UUPA, antara lain:
§  UUPA lebih  menjelaskan pada Perlindungan Hak Hak Anak dari pada Perlindungan Anak itu sendiri (lihat bagian 3 paragrap di atas) yaitu Penyelenggaraan Perlindungan di Bidang Agama, Kesehatan, Pendidikan, Sosial dan Perlindungan Khusus.  

§  Isi UUPA lebih menekankan pada pengasuhan dan pidana hukum atau ancaman. Tidak mengacu pada pencegahan dan tanggapan/respon, seperti yang sudah banyak dilakukan oleh lembaga lembaga (INGOs dan NGO) yang fokus pada anak.  (coba anda search  kata “pencegahan” di UUPA, hanya ada 3 kata, dan 1 kata “mencegah”).

§  UUPA no 23 /2002 ini lebih tepat digunakan pada pelaku dewasa dan tidak tepat jika di gunakan pada pelaku (baca: korban) masih dalam usia anak. Bagaimana kalau pelakunya adalah anak, apakah mereka layak untuk dihukum selama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 300.000,000 (tiga ratus juta). Untuk Pelaku anak saat ini (Anak yang berkonflik dengan Hukum) sudah ada Undang Undang Sistem Peradilan Anak no 11/2012.

§  UUPA no 23/2002 menjelaskan adanya kewajiban anak (pasal 19) yang isinya adalah a) mengormati orang tua, wali, dan guru; b) mencintai keluarga, masyarakat dan menyayangi teman; c) mencintai tanah air, bangsa dan negara; d) menunaikan ibadah seuai dengan ajran agamanya dan ; e) melaksanakan etika dan ahklak mulia. Sebagaimana yang kita ketahui HAK adalah sesuai yang melekat dalam diri manusia sejak lahir, sehingga tidak ada unsur kewajiban yang melekat pada setiap orang. Kewajiban yang disebutkan dalam UUPA ini juga sulit untuk di ukur atau dijelaskan apa tolok ukurnya karena lebih bersifat pada norma dan agidah. Misalnya, menghormati orang tua, mencintai keluarga, melaksanakan etika dan ahlak mulia, dll

§  Akte kelahiran yang tidak masuk dalam protection list by Unicef, tetapi  tergambar dengan jelas di UUPA. Di dalam KHA memasukan Akta Kelahiran berada dalam kluster 4 yaitu Hak dan Kebebasan Sipil (ps 7-8, 13-17, 37[a]). Pembuatan Akta Kelahiran di UUPA di sebutkan tidak dikenakan biaya, tetapi pada kenyataannnya pembuatan Akta Kelahiran ini masih dipungut biaya dan sangat ribet dalam menyiakan dokumen dokumen persyaratannya.

§  Bagi Anda sebagai masyarakat, UUPA ini akan sangat membahayakan karena “jika anda tahu dan dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat daalam pasal 60 dan pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus di bantu, anda bisa dipidana penjara paling lama 5 tahun dan atau denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah)

§  Satu hal yang cukup memprihatinkan, uang atau denda yang di pungut dalam UUPA ini tidak belum ada kompensasi yang jelas bagi para korbannya sendiri. Seolah olah, negara memungut uang dari hasil kejahatan seseorang terhadap anak dan tidak ada/belum ada mekanisme yang dirasakan langsung oleh korban itu sendiri.

Besar harapan, jika memang jadi merevisi undang undang perlindungan anak, semoga dilakukan kajian mendalam. UUPA betul betul bergerak memprioritaskan layanan pencegahan,  menyediakan layanan respon dan rehabilitasi yang komprehensif. Memperbaiki konten yang spesifik dengan perlindungan anak dan tidak melebar pada pemenuhan Hak Hak Anak. Membatasi usia minimum pelaku yang dikenakan pada pasal ancaman dan memasukkan unsur/ mekanisme jika pelakunya adalah anak. Membuat efek jera pada pelaku dewasa sehingga tidak lagi mengulangi perbuatan mereka. Membuat mekanisme yang jelas bagi korban sehingga betul betul hak hak mereka terpenuhi dan tidak menjadi korban lagi akibat layanan pemerintah yang tidak responsif. Menguatkan peran serta orangtua, keluarga dan masyarakat dalam menyediakan layanan pencegahan (community based child protection) . Mengacu pada hasil UN Study Violence Against Children (2006)[4] yaitu perlindungan anak pada setting Rumah dan Keluarga; Sekolah dan Pendidikan; Institusi dan Penjara; Tempat Kerja, serta di Masyarakat. Serta memasukkan kekerasan anak di dunia Dunia Maya (violence in the virtual world).

Semoga, kita bisa benar-benar bisa melindungi anak Indonesia dan tetap mengacu pada kepentingan yang terbaik pada anak (the best interest of child)

 



[1] http://www.unicef.org/chinese/protection/files/What_is_Child_Protection.pdf
[2] Protection _list by Unicef
[3] Perlindungan Anak, berdasarkan UUPA No 23/2002 Tentang Perlindungan Anak, unicef.
[4] www.violencestudy.org/
 

Saturday, May 17, 2014

MENGGUGAT PERAN KPAI dan KOMNAS PA?!?


APA UPAYA PENCEGAHAN PADA KASUS KASUS ANAK?
By, Yuyum Fhahni Paryani – CBCP Specialist Plan Indonesia

Menyikapi banyaknya kasus kasus kekerasan sexual anak yang berjamur akhir akhir ini, dan muncul di mana mana (rumah, sekolah dan lingkungan), membuat Komisi Nasional Perlindungan Anak (KOMNAS PA) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berlomba lomba untuk muncul di permukaan (baca: Telivisi) bak pemadam kebakaran. Hanya muncul sesaat untuk menggali ketenaran, setelah itu tak ada follow up atau tindakan nyata lainnya.  Mereka lebih peduli dengan issue issue anak yang POPULIS daripada STRATEGIS.
Mari kita mengulas siapa mereka sebenarnya? apa peran mereka? sehingga tidak tumpang tindih pemahaman ataus alah kaprah dalam melihat kedudukan, peran dan fungsi nya.

KEDUDUKAN DAN DASAR PEMBENTUKANNYA

Kami Tetap Ceria dan Bermain Bersama
KOMISI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK (KOMNAS     PA), hadir lebih dahulu dalam membangun komitment untuk perlindungan anak di Indonesia. Dibentuk dengan Surat Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 81/HUK/1997 tentang Pembentukan Lembaga Perlindungan Anak Pusat yang tidak lain menjadi cikal bakal lahirnya sebuah Komisi khusus yang mengurus upaya perlindungan dan peningkatan kesejahteraan anak secara independen.
KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA (KPAI), adalah lembaga yang independen yang dibentuk berdasarkan  Keppres No. 77 Tahun 2003 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia. KPAI merupakan mandat di Undang Undang Perlindungan Anak, no. 23 tahun 2002 dengan maksud untuk meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak[i].  
Jika di lihat dari dasar pembentukkannya, tentu saja posisi KPAI lebih tinggi kedudukannya dari Komnas     PA. Komnas     PA oleh KEPMEN SOSIAL (th 1997) dan KPAI dengan KEPPRES (th 2003).
Meskipun demikian, KOMNAS     PA keberadaannya lebih dahulu eksis di dunia anak, dan populer di kalangan masyarakat. Siapa yang tidak kenal Kak Seto dan Aris Merdeka Sirait. Sementara di KPAI belum ada tokoh yang tenar dan berkualitas yang diakui oleh masyarakat luas dan keanggotaannya lebih banyak di dominasi oleh organisasi keagamaan.

Kendati sebagai lembaga negara, KPAI secara struktur/operasional (atau entah apalah namanya)  mempunyai hubungan secara fungsional dengan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) yaitu di Kepala Sekretariat KPAI. Membingunkan memang ?!?
Disisi lain, kita juga jangan salah kaprah tentang Komnas  PA dan Komnas  HAM. Walau namanya sama sama Komisi Nasional , kedudukan Komnas  PA itu tidak  sama dengan Komnas HAM. Komnas HAM adalah lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia. Secara keududukan Komnas HAM dibentuk  dengan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Sejak 1999 keberadaan Komnas HAM didasarkan pada Undang-undang, yakni Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 yang juga menetapkan keberadaan, tujuan, fungsi, keanggotaan, asas, kelengkapan serta tugas dan wewenang Komnas HAM. Komnas HAM kedudukannya dan fungsinya jauh lebih tinggi dari Komnas PA.

Bagaimana Komnas HAM dan KPAI? Secara kedudukan Komnas HAM dan KPAI setingkat, yaitu sama sama lembaga negara yang di bentuk berdasarkan amanat Undang Undang dan dibentuk dengan KEPPRES. Tetapi secara peran dan fungsi,  kewenangan Komnas HAM lebih tinggi dari pada KPAI. Dimana KPAI tidak ada wewenang untuk peran penyelidikan atau mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik (ombudsman).

APA PERAN KPAI dan KOMNAS  PA

Kami juga bisa berkarya
Berdasarkan KEPMEN Sosial, Komnas PA dimandatkan Forum Nasional adalah Program Pemantapan Lembaga Perlindungan Anak, Program Pendidikan dan Latihan, Bantuan Hukum dan Konseling serta Program Penguatan Kelembagaan/Program Kerja Tehnis[ii].  Kita memang tidak banyak berharap dengan Komnas PA ini karena memang peran fungsinya terbatas dan bukan lembaga negara. Lembaga Perlindungan Anak (LPA) yang dulu sangat marak di bentuk di beberapa wilayah, pada akhirnya sebagian hanya tinggal papan nama dan kalau pun ada yang masih “bersuara” hanya menjadi komitment perorangan saja.  
Sementara KPAI yang punya kedudukan tinggi sebagai lembaga negara diberikan mandat oleh Undang Undang untuk mengawal dan mengawasi pelaksanaan perlindungan anak yang dilakukan oleh para pemangku kewajiban perlindungan anak, belum mampu  menjalankan peran dan fungsinya secara maksimal. Terkesan, mengekor dan tak punya gigi atau hanya sebagai macan ompong untuk membicarakan “Pencegahan” Perlinduangan Anak. Patut di Ingat! KPAI bukan institusi teknis yang menyelenggarakan perlindungan anak.

Rebutan untuk mendapat PERMEN!?!
Saat ini KPAI membuat atau membentuk Satuan Tugas Perlindungan Anak di Tk RT/RW. Satgas ini diharapkan bisa mencegah anak yang rentan menjadi korban, mendukung anak yang bermasalah, dan melindungi anak yang menjadi korban dengan membuka pintu konsultasi, bimbingan, pendampingan dan pembinaan.  Berdasarkan peran dan fungsinya, siapa yang akan menjadi anggota Satgas di Tk RT/RW? Apakah mereka mampu  menyediakan layanan yang disebutkan diatas? Tentu saja, Stagas PA ini baru dalam tahap wacana dan belum jelas bagaimana pelaksanaannya di level akar rumput.  
Tapi siapapun mereka, setidaknya kita tetap mengapreasiasi apa yang sudah di lakukan, walau belum maksimal. Dan, saat ini sudah banyak lembaga yang peduli dengan nasib anak -anak Indonesia. Tak banyak bicara, tetapi mereka bertindak nyata. INGO (international non goverment organization) sudah sangat intens dalam menyediakan layanan perlindungan anak dan fokus pada “Pencegahan” dari pada “Penanganan”. Mereka selalu mendorong dan bekerjasama dengan pemerintah untuk mampu mewujudkan Upaya Nyata dalam Perlindungan Anak.



[i] http://www.kpai.go.id/
[ii] http://peluk.Komnas pa.or.id/node/25

Sunday, May 11, 2014

Kemanakah Telepon Sahabat Anak (TESA 129) dan P2TP2A?!?

"Layanan PA yang disediakan Pemerintah Mati Suri"

By, Yuyum Fhahni Paryani - CBCP Speciliast Plan Indonesia


Menonton para pemerhati anak  terhadap kekerasan anak di Metro TV, membuat sedikit bingung dengan komentar komentar yang mereka sampaikan. Terlihat, beberapa pihak hanya bicara pada taratan teori teori saja. Tak ada gebrakan nyata yang bisa dilakukan. Mengutip apa yang disampaikan psikholog anak Elly Rusman mengatakan dengan geram “tak hanya pada predator anak adalah orang dewasa, tetapi pelaku juga masih dalam usia anak. Ini bukan kejahatan, tetapi memang penyakit dan butuh rehabilitasi mental bagi para pelaku dan juga keluarganya. Penjara bukanlah tempat yang tepat untuk predator,’ ujar Elly Rusman. Sementara presenter lainnya, mengatakan tidak adanya layanan rujukan untuk kasus kasus anak, serta adanya persoalan hukum yang perlu diperbaiki.

Barita di televisi hari ini (minggu, 11 May 2014), bahwa anak anak yang menjadi korban Emon alias Ahmad Sobari (24), kini menjadi bahan olok olokkan masyarakat sekitar. Siapa yang bisa menjamin bahwa anak anak korban kekerasan sexual tidak mengalami kekerasan lagi, apakah  masyarakat sekitar sudah terdewasakan dengan hak hak anak dan perlindungan anak? Terkesan, tak ada yang peduli, semua pihak hanya terfokus pada kejadian saja, pelaku di jerat hukum, anak anak di periksa dan diminta keterangannya.
Apakah anda tahu, bahwa pemerintah melalui beberapa Kementerian sudah membuat layanan Perlindungan Anak? Beberapa diantaranya,adalah:

1.   TESA 129 (Telepon Sabahat Anak 129), melalui 3 Kementerian (KPPA, Kemensos, dan Keminfo) telah menyediakan layanan Telepon Sahabat Anak 129  (TESA 129) yang baru bisa diakses melalui hanya telp kantor/rumah saja. Telp ini disediakan bagi anak anak yang membutuhkan perlindungan atau berada pada situasi darurat atau emergency. TESA 129 juga menyediakan layanan informasi, konsultasi dan konseling seputar kehidupan anak, serta layanan pengaduan dan rujukan.   

2.   P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak), umumnya mereka di bentuk dengan SK Gubernur/Bupati. Pembentukan P2TP2A ini merupakan  melayani perempuan dan anak korban kekerasan, menyediakan layanan informasi, konseling, perawatan psikhology, advokasi, masihat hukum dan pelayanan kesehatan rujukan dan rumah aman, secara gratis. P2TP2A dibawah koordinasi Badan Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPKB). Beberapa Pemerintah daerah, juga mendorong terbentuknya P2TP2A (PPT) di tingkat kecamatan.
Kami Anak Berkebutuhan Khusus, Punya hak yang sama
3.   RPSA (Rumah Perlindungan Sosial Anak) merupakan trauma centre (pusat pemulihan), yang diperuntukkan bagi anak anak yang membutuhkan perlindungan khusus, yaitu anak korban trafficking, korban kekerasan dan perlakuan salah, anak berhadapan dengan hukum, dan anak yang terpisah. RPSA saat ini hanya berada di level provinsi dan jumlahnya masih sangat terbatas.

Berdasarkan data, pusat pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan dan anak (P2TP2A) telah terbentu sebanyak 247 kab/kota di 33 provinsi. Dari 247 kab/kota yang telah terbentuk, baru 125 kab/kota menuju Kota Layak Anak (KLA).500 Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) telah terbentuk  di Mapolres, serta terbentuk 123 layanan korban kekerasan berbasis rumah sakit[i]. Sementara TESA 129, belum ada laporan yang mendukung terbentuknya di kab/kota.

Ketersediaan layanan perlindungan anak ini, selayaknya menjadi leading sector untuk masalah masalah anak ini, tampak bergeming. Tidak ada satu media pun yang memberitakan layanan perlindungan anak yang telah disediakan oleh pemerintah Indonesia.
TESA 129 yang seharusnya banyak diakses oleh anak anak, tak banyak diketahui oleh anak anak. P2TP2A punterdengar asing bagi masyarakat, tak banyak yang tahu jika ada layanan terpadu perlindungan anak. Bisa jadi, baru ada kejadian semua layanan yang tersedia baru sibuk mengaktifkan kembali fungsi yang sebenarnya. Padahal untuk membuat layanan telp atau helpline  (TESA 129) dan P2TP2A memakan biaya dan waktu yang cukup lama.
Beri kami Akses untuk Melaporkan
Setidaknya, kasus Emon (alias Ahmad Sobari) di Sukabumi misalnya, telah menghenyak banyak orang. Anak yang menjadi kebejatan sexualnya, memakan korban sebanyak 120 anak. Siapa menyangka, di Desa yang aman damai dan tenteram ternyata memelihara “Monster Anak”. Masyarakat sekitar pun tak pernah ada yang tahu apa yang terjadi pada anak anak mereka. Seakan komunikasi yang dibangun oleh anak bersama orang tua tertutup blok atau dinding yang tebal untuk hal hal spesifik (masalah sexual).

Jangan kan menelpon TESA 129 atau mengakses P2TP2A, membangun komunikasi internal (antara orang tua dan anak) saja tak terjadi, apalagi melapor ke P2TP2A. Apakah ada catatan data yang masuk (data base) dari orang orang yang melapor ke TESA 129 atau P2TP2A?  Ada pasti, tapi mungkin bisa di hitung dengan jari.
Sebagus apapun program atau layanan yang diberikan oleh pemerintah sudah selayaknya harus digaungkan sebesar besarnya agar bisa di akses oleh anak dan masyarakat. Perlu di kaji ulang kefektifan akses layanan perlindungan anak ini ke depan, sehingga betul betul mampu melindungi anak indonesia.

Kepedulian masyarakat untuk melindungi anak mereka juga perlu dibangkitkan melalui "perlindungan anak berbasis masyarakat" sebagai deteksi dini. Jika disadari sejak awal pentingnya layanan perlindungan anak ini (TESA 129, P2TP2A, dibentuk Perlindungan Anak Berbasis Masyarakat), mungkin kekerasan terhadap anak mampu kita cegah sejak dini.




[i] Lakip kpp dan pa, tahun 2013

Saturday, April 26, 2014

STRATEGY PERLINDUNGAN ANAK DI SITUASI DARURAT


By, Yuyum Fhahni Paryani – Child Protection in Emergency Specialist Plan Indonesia

Tulisan ini di ambil dari buku MINIMUM STANDARD FOR CHILD PROTECTION IN HUMANATARIAN ACTION
 
Jika Anda adalah seorang relawan atau pekerja pekerja yang fokus  pada issu issu perlindungan anak, saat ini sudah dikembangkan  sebuah panduan tentang Minimum Standard untuk Perlindungan Anak pada aksi aksi kemanusian. Panduan ini dibuat oleh Global Child Protection Cluster atau Child Protection Working Group (CPWG). CPWG ini  adalah forum global untuk koordinasi perlindungan anak dalam setting kemanusiaan. Kelompok ini, merupakan kelompok bersama NGO, UN  Agency, Akademisi dan lainnya. Dalam System Kemanusiaan (humanatarian system) , CPWG   merupakan  suatu “bidang tanggungjawab” dalam Global Protection Cluster

STANDAR - STANDAR UNTUK MENGEMBANGKAN STRATEGI PERLINDUNGAN ANAK  YANG MEMADAI  DALAM SITUASI DARURAT

Standard diarea ini termasuk strategi utama perlindungan anak yang dapat kebutuhan perlindungan anak yang berbeda. Seperti dengan semua standar lain, standard ini  didasarkan pada kerangka legal internasional secara menyeluruh. Standar ini termasuk standar yang berhubungan dengan:

ü  Management Kasus

ü  Mekanisme Perlindungan Anak Berbasis Masyarakat

ü  Ruang Ramah Anak

ü  Perlindungan anak yang excluded (terpinggirkan, berkemampuan beda, etc)

STANDARD  15 -  CASE MANAGEMENT

Sistem management kasus digunakan diberbagai layanan kemanusiaan di lapangan, termasuk kesehatan, kerja sosial dan keadilan. Managemen kasus ada proses untuk membantu anak secara individual dan keluarga melalui model dukungan kerja sosial secara langsung dan mengatur informasi dengan baik. Managemen kasus ini adalah cara yang dibutuhkan dan fungsi sentral dalam berbagai perlindungan anak atau sistem kesejahteraan sosial, baik  di situasi darurat atau tidak (termasuk struktur pemerintah dan non-pemerintah).  Dukungan kemanusiaan untuk sistim management kasus perlindungan anak mungkin dibutuhkan dalam konteks sebagai berikut:

ü  Dalam situasi darurat yang terjadi sangat tepat dimana pemerintah membutuhkan dukungan sementara

ü  Dalam jangka waktu darurat yang bertahan lama dan di negara berkembang dimana pemerintah dimotivasi untuk membangun struktur dari kesejahteraan sosial yang kuat (yang termasuk Management kasus)

ü  Dimana pemerintah tidak menunjukkan minat  untuk mendukung perlindungan anak dan sistem kesejahteraan sosial.

Sistim management kasus dapat menjadi sangat penting dalam memfasilitasi monitoring kasus dan layanan rujukan, dan oleh karena itu  terdiri dari  komponen inti dari dukungan yang terintegrasi dalam respon pada resiko kunci perlindungan anak di situasi darurat, temasuk anak anak  yang berhubungan dengan angkatan bersenjata, anak anak yang tidak bersama pendamping dan anak yang terpisah, dan anak korban kekerasan, penyalahgunaan dan eksploitasi.
Dalam Management Kasus, harus ada keterlibatan anak yang tepat selama proses, dan juga mempertimbangkan dengan penuh pada kepentingan yang terbaik bagi anak. Hal ini mempersyaratkan adanya sistem pelaporan yang aman, di jaga kerahasiaannya, jelas dan menghormati protokol dalam berbagi informasi. Penyimpanan dokumen yang aman, dll. Pertimbangan ini harus dibuat sebelum memutuskan pada sistem managemen kasus atau ketika memulai untuk mendukung dan menguatkan  sistem yang sudah ada
 

STANDARD 16 -  MEKANISME BERBASIS  - MASYARAKAT
 
 Untuk standard ini “masyarakat” di definisikan sebagai sebuah kelompok dari beberapa orang yang tinggal atau yang berdekat lokasinya, sperti yang ada di desa atau di lingkungannya. Meskipun masyarakat tidak selalu dalam kelompok yang homogen (berbeda etnik, agama, stats sosial ekonomi, dll), masyarakat dapat menyediakan bermacam cara untuk mencegah dan merespon terhadap resiko resiko dari perlindungan anak. Meskipun dalam situasi pengungsian dimana masyarakat  tidak mudah untuk melihat, sekelompok orang dapat  mengatur diri mereka sendiri untuk mendukung anak anak yang beresiko.

Mekanisme Perlindungan Anak Berbasis Masyarakat (CBCPM – Community Based Child Protection Mechanism) adalah sebuah jaringan atau kelompok dari masing masing individu di masyarakat  yang berkoordinasi bersama untuk tujuan perlindungan anak. Mekanisme ini  dapat secara internal maupun eksternal yang mendukung CBCPM seperti Komite Kesejahteraan Anak, Kelompok Perlindungan Anak Desa, dll. CBCPM yang efektif termasuk struktur lokal dan tradisional atau proses yang informal untuk mempromosikan  atau mendukung kesejahteraan anak.

STANDAR 17  - RUANG/TEMPAT  RAMAH ANAK – CHILD FRIENDLY SPACES

Salah satu kegiatan CFS - Story Telling
Standar ini menggunakan terminologi “ Ruang/Tempat Ramah Anak” berarti tersedai ruang di mana  masyarakat menyediakan/ menciptakan lingkungan pengasuhan  dimana anak anak dapat mengakses secara gratis dan ada struktur dalam permainan, rekreasi, waktu luang dan kegiatan belajar. Child Friendly Space (CFS)  dapat juga memberikan dukungan pendidikan dan psikososial dan kegiatan lainnya yang dapat mengembalikan  seperti situasi semula  dan terus menerus. CFS di rancang dan di operasikan  melalui proses yang partisipatif,  sering menggunakaan ruang/ tempat yang sudah ada di masyarakat, dan dapat melayani anak dengan rentang usia  tertentu, atau denagn rentang usia yang beragam.
Pedoman untuk CFS telah di kembangkan dan membantu membangun kesepakatan di diberbagi negara yang berbeda dalam kerja kerja kemanusiaan.  Area ini meliputi:

ü IASC Referensi Kelompok Kesehatan Mental dan Dukungan Psikososial di situasi darurat

ü Global Child Protection Working Group

ü Global Education Cluster

ü Standar Minimun untuk Pendidikan; Kesiapsiagaan, Respon dan Recovery (INEE)

STANDAR 18 -  MELINDUNGI ANAK ANAK YANG EXCLUDED

Ekslusif  telah di definisikan sebagai sebuah proses dimana anak anak baik secara infividual atau kelompok  secara total atau sebagian terpingirkan dari kondisi sosial masyarakat.  Kondisi ekslusif ini lebih melihat pada hubungan sosial yang dibutuhkan dalam lingkaran/siklus material yang terbatas dan kerentanan. Hal ini lebih terkait pada stigma dalam status social seperti kecacatan, anggota kelompok minoritas yang di diskriminasi secara budaya yang terkait issu gender, pengucilan ekonomi.  

Efek dari pengecualian (ekslusif) mempengaruhi perkembangan potensi anak,  yang dapat menghalangi akses anak terhadap hak hak mereka., kesempatan dan sumberdaya. Anak anak ekslusif ini lebih rentang terhadap kakerasan, penyalagunaan, eksploitasi dan penelataran. Krisis kemanusian dan response dapat membuat siklus dari anak anak ekslusif ini menjadi lebih buruk dan menciptakan lapisan baru dari eklusif, atau merubahan kesempatan.