Monday, March 21, 2016

MENELAAH RENCANA AKSI NASIONAL - PERLINDUNGAN ANAK 2015 – 2019

Semoga Tidak Jadi Dokumen Usang Yang Tersimpan Rapi di Lemari

By, Yuyum Fhahni Paryani – Child Protection Specialist/Consultant

P
emerintah Indonesia melalui Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) menerbitkan Rencana Aksi Nasional Perlindungan Anak untuk Tahun 2015 – 2019. Rencana Aksi Nasional Perlindungan Anak (RAN PA) merupakan penjabaran lebih rinci atas pelaksanaan Peraturan Presiden no 2/2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019, yaitu mencapai sasaran pembangunan perlindungan anak. Pencapaian berbagai sasaran komitment global seperti Konvensi Hak Anak dan Sustainable Development Goals, juga menjadi tujuan dalam Rencana aksi ini.

Adapun tujuan dari penyusunan RAN-PA adalah menghasilkan sebuah dokumen payung petunjuk strategis dalam mencapai sasaran perlindungan anak sebagaimana telah diterapkan dalam RPJMN 2015-2019 dan berbagai komitment global.

Dalam pembuatan RAN PA ini telah membagi dalam  3 kategori berdasarkan kebutuhan selama siklus hidup usia anak, yakni pondasi yang kuat 1000 Hari Pertama Kehidupan (0<2 tahun), Pilar yang kokoh dalam 10 tahun perkembangan Anak (3-12 tahun) dan atap yang melindungi (13-17 tahun).

Sejalan dengan RPJMN 2015-2019, arah kebijakan pembangunan dalam bidang perlindungan anak adalah:
(1)  Meningkatkan akses semua anak terhadap pelayanan yang berkualitas dalam rangka mendukung tumbuh kembang dan kelangsungan hidup;
(2)   Meningkatkan perlindungan anak dari tindak kekerasan, eksploitasi, penelantaran, dan perlakuan salah lainnya; dan
(3) Peningkatan efekifitas kelembagaan perlindungan anak, salah satunya melalui penguatan partisipasi anak muda untuk ikut menentukan arah dan kualitas pembangunan.

Beberapa hal yang perlu ditelaah dan didiskusikan kembali adalah sebagai berikut:

1.      DEFINISI PERLINDUNGAN ANAK
     Dalam RAN-PA, konsep mengenai “Perlindungan Anak” merujuk pada UU no 35/2014 pasal 1 ayat (2) yang menyediakan bahwa Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan segala hak hak nya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Definisi PA ini menyatakan bahwa perlindungan ini tidak sekadar melindungi anak dari berbagai resiko kekerasan eksploitasi atau penelantaran, tetapi lebih luas dari itu karena yang di lindungi adalah hak hak dasar anak.

Dalam dokumen Konvensi Hak Anak, definisi PA sangat jelas apa yaitu tercantum dalam Pasal 19 KHA
yaitu Negara – negara peserta akan mengambil langkah langkah legislatif, administratif, sosial dan pendidikan yang layak guna melindungi anak dari semua bentuk kekerasan fisik atau mental, atau penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan salah, luka (injury) atau eksploitasi termasuk penyalahgunaan seksual, sementara mereka dalam pemeliharaan orang tua, wali yang sah atau setiap orang lain yang memelihara anak”.

Hal ini sangat jelas, bahwa hak atas perlindungan anak adalah perlindungan dari segala macam bentuk kekerasan fisik atau mental, atau penyalah gunaan, penelantaran atau perlakuan salah, luka (injury) atau eksploitasi termasuk penyalahgunaan seksual, bukan melindungi semua hak hak anak.

Perlindungan anak dalam KHA tidak didefinisikan untuk melindungi semua hak hak anak. Namun, Hak-hak anak dan perlindungan anak saling terkait karena dengan mencegah dan merespon kekerasan, penelantaran, eksploitasi, dan penyalahgunaan, anak-anak akan dapat mengakses hak-hak lainnya

2.      SIKLUS HIDUP USIA ANAK

Dalam RAN PA telah membagi siklus hidup usia anak menjadi 3 kelompok, yaitu
-  Kelompok Usia 0 - <2 tahun, sebagai pondasi yang kuat 1000 Hari Pertama Kehidupan 
-  Kelompok Usia 3-12 tahun, sebagai pilar yang kokoh dalam 10 Tahun perkembangan Anak
-    Kelompok Usia 13-17 tahun sebagai atap yang melindungi.

Pembagian kelompok usia ini mungkin perlu di informasikan rujukannya, sehingga jelas mengapa usia 13-12 tahun dianggap sebagai pilar kokoh perkembangan anak, dan usi 13-17 tahun sebagai atap yang melindungi (?). Padahal kita masih ingat dengan the Golden Age yaitu usia yang penting dalam tumbuhkembang anak. Periode ini dimulai sejak janin dalam kandungan hingga usia 6 tahun.

Awal masa anak-anak berlangsung dari usia 3–6 tahun. Pada masa ini menurut Osborn, White, dan Bloom (dalam Apriana, 2009) bahwa perkembangan kognitif anak telah mencapai 50% ketika anak berusia 4 tahun, 80% ketika anak berusia 8 tahun, dan genap 100% ketika anak berusia 18 tahun.

Merujuk pada UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 1 Pasal 28 ayat 4 menyatakan bahwa pendidikan anak usia dini adalah upaya pembinaan yang ditujukan pada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lanjut[1].

Dalam Beberapa document yang dikembangkan oleh Lembaga International, kelompok usia anak lebih banyak membagi kategori anak dalam 4 kelompok usia antara lain: (1) 0 – 2 tahun; (2) 3 - 6 tahun; (3) 7 – 12 tahun; (4) 13 – 17 tahun.  Pembagian kelompok usia ini memang memiliki tingkat persoalan perlindungan anak yang berbeda beda dan  keterlibatan/ involvement yang berbeda beda pula.  Sebagai contoh usia 3 – 6 tahun[2]




1.      ANALISA SITUASI DAN TANTANGAN
3.1 Analisa Situasi Berdasarkan Alur Siklus Kehidupan
Dalam analisa berdasarkan Alur Siklus kehidupan melihat dari issue issue:
-          Kematian Ibu dan Bayi serta anak di usia dibawah Usia 2 tahun
-          Pencatatan Kelahiran dan Kepemilikan Akta Kelahiran
-          Status Gizi dan Perkembangan Anak
-          Deteksi dini dan Rehabilitasi Cepat Disabilitas di Awal Kehidupan
-  Pengasuhan Berbasis Keluarga, Pencegahan dan Penanganan Kekerasan serta Penelantaran

Pilar Kokoh dalam 10 tahun pertumbuhan dan perkembangan anak  ( 2 – 12 tahun), melihat dari issue issue:
-          Kamatian anak di bawah Usia 5 tahun
-          Penyakit menular dan cidera
-       Akses pada pengembangan anak usia dini Holistik Integratif dan Pendidikan Dasar Berkualitas
-          Pembentukan dasar dan ketrampilan hidup dan nilai nilai Budi Pekerti
-          Pengasuhan Berbasis Rumah Tangga Yang aman

Dalam kelompok usia (13-18), atas yang melindungi, melihat issue issue:
-          Pengetahuan Kesehatan Reproduksi Anak dan Perkawinan Usia Anak
-          Perilaku beresiko tinggi
-          Akses dan kualitas pendidikan usia remaja
-          Ketrampilan hidup dan karakter Kemanusiaan/ Pendidikan Karakter
-          Kekerasan di masa remaja

Dalam menggali issue issue berdasarkan kelompok usia ini, tidak menunjukkan alat ukur atau analisa yang konsisten, alias berbeda beda.  Misalnya saja pada  kelompok usia 2-12 tahun dengan rentang usia yang terlalu berbeda dalam tumbuhkembang anak ini, tidak melihat bagaimana perilaku beresiko tinggi. Mengingat kelompok usia ini juga sangat rentan terhadap kekerasan sexual dan pekerja anak. Sedangkan pada Pendidikan Karakter sangat diperlukan pada  kelompok Usia Dini (2- 6  tahun) atau usia golden  Age (0 – 8 tahun), dan bukan pada usia 13 – 17 tahun.

Sebaiknya dalam menggunakan pisau analisisnya dengan tetap menggunakan Konvensi Hak Anak berdasarkan Kluster substantifnya dengan diagram sebagai berikut:


Disisi lain, juga perlu menggunakan dokumen Concluding Observation dari Komite PBB sebagai hasil pemantauan atau pengamatan dari laporan negara Indonesia kepada Komite PBB terkait implementasi hak hak anak di Indonesia. Selain itu, dukungan UNICEF untuk membangun dan menguatkan System Perlindungan Anak Nasional (National Child Protection System) juga perlu dijadikan acuan, hingga bisa terwujud untuk melindungi anak dengan membangun system yng kuat dan terintegrasi holistik.

Dari fakta dan data yang tersedia, barulah nanti digunakan Tools Causal Analisis untuk menemukan apa akar masalah yang sesunguhnya, sehingga dalam melakukan intervensi akan tepat sasaran.

1.2 Analisa situasi berdasarkan kelembagaan
Hanya menjelaskan beberapa aturan yang berlaku dan menegaskan bahwa pengawasan pembangunan perlindungan anak bermuara pada Kementrain Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Namun, sangat disayangkan tidak ada analisa jelas, apa yang diinginkan dalam analisa situasi berdasarkan kelembagaan. Dan tidak ada penjelasan apa saja kendala atau tantang yang dihadapi dalam analisa kelembagaan tersebut.

2.      Akar Permasalahan
Dalam RAN PA, kita tidak mendapat penjelasan singkat, bagaimana tim penyusun ini bisa merumuskan secara generic dari dua analisa situasi yang telah dipaparkan diawal dengan siklus kehidupan dengan kelompok usia berbeda serta kelembagaan dan tidak ditelaah dengan spesifik dan rinci, apa yang menjadi akar permasalahan yang sesungguhnya.

Sehingga dalam RAN PA, muncul bahwa akar permasalah dari persoalan anak, antara lain adalah:
a.       Kemiskinan dan Kerentanan Anak
b.      Ketimpangan Horisontal dan Vertikal
c.       Kekerasan, Eksploitasi, Penelantaran dan Diskriminasi

Jika melihat, dari akar masalah yang muncul, sangat kurang akurat atau tidak tepat dengan hasil pokok persoalan yang ada sebelumnya, Sebagai contoh, mengapa salah satu akar masalah adalah Kekerasan, eksploitasi, penelantaran dan diskriminasi? Mengapa Tim penulis tidak menyebutkan bahwa kekerasan, Ekploitasi, penelataran dan diksriminasi adalah issue issue anak yang terjadi, dan perlu dicari MENGAPA (PENYEBAB) terjadinya masalah anak tersebut?

Dalam RAN-PA tertulis “Kekerasan berbasis rumah tangga juga perlu ditangani secara serius. Banyak anak menderita secara fisik maupun mental, bahkan kehilangan kesempatan untuk hidup, karena perlakuan Orangtua mereka sendiri. Karena kekerasan ini terjadi dalam ranah domestic, masyarakat enggan ikut campur sampai tingkat keparahan kekerasan  tersebut di Ketahui”  Dalam RAN PA ini, tentu saja belum dikategorikan sebagai akar masalah. Masih perlu digali lebih dalam lagi, mengapa (causal analysis) terjadinya kekerasan berbasis rumah tangga? Mengapa masyarakat enggan peduli atau campur tangan jika terjadi kekerasan diranah domestic? Apakah terjadinya kekerasan diranah domestic ini disebabkan atau akar masalahnya adalah kemiskinan dan kerentanan anak? Tentu saja hal ini perlu dikaji lebih dalam lagi, sehingga betul betul menemukan akar masalah yang sebenarmya, dan bukan mengkambinghitaman kemiskinan dan kerentanan anak.

Menurut penulis, perlu dikaji lebih dalam lagi, untuk mencari akar masalah yang sesungguhnya, sehingga dalam melakukan intervensi akan tepat sasaran dan betul betul berdampak pada masalah masalah anak yang ada di Indonesia.

3.      SASARAN RENCANA AKSI
Tentu saja, jika analisa yang dihasilkan tidak berkaitan satu sama lain (tidak runut), hal ini akan mempengaruhi sasaran dari rencana aksi yang akan dibuat.  Selayaknya, jika analisa dilakukan dengan runut, maka akan menghasilkan Rencana aksi yang akan mengintervensi akar persoalan yang ada.

Dari hasil analisa, barulah nanti disusun secara rinci, apa saja yang menjadi hambatan atau tantangan dalam pemenuhan hak anak dalam semua kelompok usia dalam bentuk Rencana Aksi yang lebih nyata dan jelas akar permasalahan. Bukan secara tiba tiba ada kebutuhan yang tidak tersebut sama sekali dalam temuan analisa situasi siklus kehidupan anak. 

Dalam melakukan analisa situasi dan tantangan, sama sekali tidak terdapat persoalan terkait dengan tidak tersedianya kebijakan dan program berbasis bukti dan data yang mempertimbangkan kebutuhan dan karakteristik anak berdasarkan gender dan siklus kehidupan sesuai konteks sosial, ekonomi dan budaya (maaf kalau penulis tidak membaca atau menemukannya).  Namun dalam sasaran dan aksi RAN PA, muncul kebutuhan, perlunya pengembangan penelitian, penguatan sistem data , dan lain sebagainya. Sehingga terkesan, tidak ada sinergisitas dari analisa situasi dengan sasaran yang akan di lakukan dalam Rencana aksi.

4.      PERLU DIBUATKAN LOGICAL-FRAMEWORK RAN PA 2015-2019
Setelah jelas akar masalah dan intervensi yang akan di lakukan,  bisa dibuat Logical Framework (LF) untuk menentukan Goal, Objectives, Outputs dan indikator indikator capaian dari masing masing Kluster Hak Anak.

LF ini bisa dijadikan landasan bagi semua pihak yang ingin berkontribusi dalam pemenuhan hak anak dan jelas bagaimana memonitoring dalam implementasinya.  Rencana Aksi sebaiknya sudah jelas apa dan bagaimana impelementasi nya, dan bukan lagi kata kata bersayap yang tidak kongkrit bagaimana tolok ukurnya.

Sebaiknya RAN PA ini juga harus dipublikasikan di website pemerintah baik BAPPENAS, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Kementrian Sosial, sehingga mudah di akses oleh pihak pihak yang berkepentingan untuk mendukung terlaksananya RAN PA 2015 -2019. Dan harapan agar RAN PA 2015-2019 adalah untuk mencapai / mendukung  arah kebijakan pembangunan dalam bidang perlindungan anak di RPJMN 2015-2019.

Besar harapan dari penulis bahwa RAN PA ini benar benar digunakan sebagai landasan bagi semua pihak yang bekerja untuk perlindungan anak di Indonesia, dan tidak hanya dijadikan dokumen usang yang tersimpan rapi didalam lemari hingga habis masa berlakunya. (*Yeye)



[1] http://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab1/2012-2-00044-PS%20Bab1001.pdf
[2] Stick and Stone – Training Manual

Sunday, June 21, 2015

ANGELINE - BANYAK HAK ANAK YANG TIDAK DIDAPATKAN SEBAGAI ANAK INDONESIA

#RIP ANGELINE – IKON ANTI KEKERASAN TERHADAP ANAK


10 Juni 2015, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan kasus pembunuhan anak perempuan usia 8 tahun, yang bersekolah di SDN 12 Sanur-Bali. Gadis belia ini, ditemukan tewas dan terkubur di halaman belakang rumahnya, badannya meringkuk sambil memeluk boneka perempuan berwajah korea. Sebelumnya, Angeline dikabarkan hilang dari rumah sejak tanggal 16 Mei 2015.

Angeline adalah anak yang diangkat oleh keluarga Douglash dan Margriet pada usia nya baru 3 hari. Hanya dengan kesepakatan di Akta pengakuan pengangkatan anak di Notaris, dianggap selesailah proses adopsi Angeline. Orangtua kandung Angeline (Achmad Rosyidi dan Hamidah). menerima uang Rp 1,8 juta untuk melepaskan Angeline pada orangtua angkatnya. Bisa dibayangkan, dalam usia baru 3 hari, Angeline sudah tidak lagi mendapat kasih sayang orangtuanya dan tidak merasakan air susu ibu yang selayaknya harus ia terima. Ibu kandungnya pun menyatakan tidak pernah bertemu dengan Angeline pasca memberikan kepada keluarga angkatnya, dan tiba- tiba muncul menangis meraung raung dan meratapi nasib anaknya yang mati dibunuh. Telat sudah, reaksi yang berlebihan seakan merasa bersalah yang dalam karena telah memberikan anaknya kepada orang yang tidak tepat atau ada sandiwara lain yang belum terugkap?

Dalam kasus adopsi, di akta notaris disebutkan bahwa orangtuanya tidak boleh menemui anaknya hingga ia dewasa. Secara nyata telah menghilangkan hak atas identitas Angeline dan apakah Angeline memiliki Akta Kelahiran (?) ini yang belum terungkap. Di Media pernah di tampilkan bahwa Angeline masuk dalam daftar Kartu Keluarga Douglash dan Margriet Dikhawatirkan jika ia memiliki akta kelahiran, bisa jadi nama orangtua kandung Angeline pun sudah diganti dengan nama orangtua angkatnya, sebagaimana layaknya kasus kasus adopsi anak di Indonesia. Dimana banyak orang tua yang dengan sengaja menggantikan nama orangtua asli dengan nama orangtua angkatnya di Akta Kelahiran anak angkat mereka dengan tanpa melalui proses adopsi yang sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku.


UUPA no 35 th 2014, Pasal 14 ayat (2) menyebutkan “dalam hal terjadi pemisahan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), anak tetap berhak; a) bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua orangtuanya. Pasal 27 , (1) Identitas diri setiap Anak harus diberikan sejak kelahirannya. ; (2) Identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran.

Jika menyimak dari sisi usia, saat tiada Angeline berumur 8 tahun dan usia sang ibu kandung 26 tahun. Angline adalah anak ke dua dari 3 saudara kandungnya. Artinya, Sang Ibu menyerahkan bayi Angeline, saat ia berusia 18 tahun. Dan bisa ditelaah bahwa ia menikah muda yaitu sekitar umur 15-16 tahun. Wajar, jika ia hanya mencari jalan termudah untuk menyelamatkan hidupnya dan anaknya dengan cara memberikannya pada orang lain. Di usia muda pula, pasutri ini sudah harus menangung dua anak dengan ekonomi yang tidak mapan dan belum bisa berfikir atau mendapat informasi yang benar tentang bagaimana proses adopsi anak dan tidak mengetahui bahwa Angeline perlu diberikan ASI selama 2 tahun untuk tumbuh kembangnya yang lebih baik. Setelah mendapat uang dan anaknya di adposi orang lain, masalah dianggap selesai.

Salah satu mengapa banyak pihak yang ingin mencegah pernikahan anak, adalah dampak yang akan ditimbulkan kedepan. Banyak orang tua merasa tidak ada masalah apa - apa jika anaknya dinikahkan pada usia muda, malah dianggap melepaskan beban ekonomi keluarga. Selain itu, UU Perkawinan no 1 Tahun 1974 dibenarkan menikah di usia 16 tahun. Namun, tanpa disadari, kasus Angeline adalah salah satu contoh nyata korban dari pernikahan anak. Dimana orangtuanya tak mampu menebus biaya rumah sakit dan butuh uang untuk memenuhi ekonomi keluarga, dan pada akhirnya mereka juga memilih untuk bercerai.

Pasal 1, UUPA no 35 Tahun 2014 menyebutkan bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Pasal 26, UUPA no 35 Tahun 2014, Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak;

Di kesehariannya, Angeline harus berjalan kaki sejauh 2 km menuju sekolah, tidakkah orangtua atau gurunya berfikir bagaimana keselamatan Angeline selama dalam perjalanan? Ia pun selalu tampil lusuh, kotor dan bau setibanya di sekolah. Ia tak berani mengatakan apa yang ia alami. Ada rasa takut dari sorot matanya saat ia ditanya. Ia memilih diam dan bungkam. Setelah ditanya oleh guru kelasnya beberapa kali, kenapa ia selalu terlambat (?) baru lah ia menjawab “saya harus memberi makan ayam, kucing dan anjing dulu”. Berapa ayam yang kamu kasi makan, tanya gurunya lagi. 50 ekor, jawab Angeline. Serentak teman sekelas dan gurunya menjerit kaget. Jelas dari apa yang dialami Angeline ini, adalah kasus penelantaran anak dan eksploitasi secara ekonomi. Ia dengan sengaja ditelantarkan oleh orang tua angkatnya, disuruh bekerja yang tidak sesuai dengan kemampuannya serta tidak lagi mendapat perhatian dan kasih sayang. Ia pun sering mendapat kekerasan baik fisik maupun mental (emosional), jika ia dipanggil tidak mendengar atau kerjaan yang ia lakukan masih dianggap belum bersih atau selesai.

Berdasarkan UUPA no 35 tahun 2014, pasal 13 menyebutkan (1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: a. diskriminasi;b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c. penelantaran; d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; e. ketidakadilan; dan f. perlakuan salah lainnya. (2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.

Dari kasus Angeline ini pun, banyak memberikan pelajaran buat kita selaku secondary duty bearer, betapa perlunya kemampuan masyarakat untuk bisa mengidentifkasi ciri ciri terjadinya kekerasan pada anak. Hal ini dimaksudkan untuk melakukan tindakan preventif atau pencegahan dari pada berakibat fatal. Seperti yang dilakukan Guru wali kelasnya, hanya mendekam dalam hati terhadap apa yang ia curigai, namun tidak ada tindakan nyata untuk menyelamatkan Angeline. Bisa jadi, Ibu Guru tersebut memang tidak dibekali pengetahuan untuk melihat ciri ciri anak yang mengalami kekerasan, dan ia juga tidak tahu harus melapor kemana atas kecurigaannya.

Tidak sama halnya dengan akses layanan kesehatan dan pendidikan, jika anak kita sakit akan mudah mencari Pak Mantri, Bidan Desa atau Pustu di Desa. Kalau anak memasuki usia sekolah, tersedia akses pendidikan baik PAUD, TK, dan SD di Desa. Disadari atau tidak, kita tidak/belum tahu kepada siapa atau lembaga atau instusi apa kita bisa/harus melaporkan kecurigaan dan temuan kita di masyarakat terkait kekerasan anak (?).

Persepsi bahwa anakku adalah urusanku, aku yang kasi makan, aku yang biayai sekolah, aku yang kasi hidup. Jadi tidak boleh ada orang lain yang ikut campur tangan. Pemahaman seperti ini tidak lagi bisa dibenarkan, urusan kekerasan bukan lagi menjadi ranah domestic dan hanya menjadi urusan pribadi orangtua saja. Tapi hal ini bisa diintervensi oleh pihak lain yang berada dilingkungan sekitar anak, baik keluarga, teman sebaya, masyarakat, guru, tetangga, pemerintah dsbnya. “Anakmu adalah Anakku, Anakku adalah Anak Kami, Anak Kami adalah anak Kita Semua - Anak Indonesia”

UUPA no 35, Tahun 2014, Pasal 72 (1) Masyarakat berperan serta dalam Perlindungan Anak, baik secara perseorangan maupun kelompok. (2) Peran Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga kesejahteraan sosial, organisasi kemasyarakatan, lembaga pendidikan, media massa, dan dunia usaha.
Pasal 73A (1) Dalam rangka efektivitas penyelenggaraan Perlindungan Anak, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perlindungan Anak harus melakukan koordinasi lintas sektoral dengan lembaga terkait. (2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pemantauan, evaluasi, dan pelaporan penyelenggaraan Perlindungan Anak.

Selamat jalan Angeline, jadilah bidadari dan cahaya terang untuk anak Indonesia yang terlindungi dari segala bentuk kekerasan…amin.*YeYe*


Monday, May 4, 2015

MARDIADI : KPAD Sempat di Tolak dan Tak Dianggap, Akhirnya Mampu Membangun Desa yang Melindungi Anak

Pengantar: Membangun Kota Layak Anak bukanlah hanya “jargon” yang didukung berbagai aturan yang tidak membumi, sehingga menjadi khayalan semata. Bagaimana sebuah Kota/Kabupaten bisa Layak Anak, kalau desa/kelurahan dimana anak tinggal masih banyak yang tidak layak untuk anak?.
Hadirnya Kelompok Perlindungan Anak Desa-KPAD, telah mendekatkan layanan perlindungan anak yang selama ini tidak dirasakan keberadaannya dimasyarakat. Pentingnya pencegahan dengan sosialisasi dan promosi tentang hak hak anak dan perlindungan anak dari masyarakat untuk masyarakat, mampu membangkitkan kesadaran masyarakat secara utuh, tentang pentingnya anak bagi masa depan. Membangun Perlindungan Anak Berbasis Masyarakat melalui KPAD itulah jawaban Nyata untuk mewujudkan sebuah Desa/Kelurahan Layak dan Melindungi Anak</div>

By, Yuyum Fhahni Paryani, Independent Consultant in Child Protection and Community Based Child Protection
   
Tingginya masalah - masalah anak yang terjadi di desanya membuat Mardiadi (41 tahun) tergugah untuk peduli pada masalah masalah anak. Baik disengaja atau tidak, tanpa kita sadari ternyata banyak sekali perilaku-perilaku orang dewasa yang melakukan kekerasan dan melanggar hak - hak anak. Siapa yang peduli kalau bukan kita yang ada di Desa ini. Tahun 2007, Ia bersama rekan rekan yang peduli sepakat untuk membangun Komite Pemerhati Anak (KPA) di Desa Logandu, Kec.Karanggayam, Kab Kebumen.
Laki laki berperawakan kurus ini pun dengan lugas menceritakan bagaimana pengalaman dan tantangan yang Ia hadapi dalam membangun kesadaran masyarakat sehingga mampu mewujudkan desa yang melindungi anak. Tidak mudah tentunya, tetapi inilah bentuk kepedulian dan tanggungjawab kami sebagai orangtua sekaligus warga desa Logandu. Saat ini terjadinya “perubahan perilaku masyarakat yang melindungi anak; melahirkan Peraturan Desa tentang Perlindungan Anak; mendorong tersedianya Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak; ketersediaan anggaran untuk perlindungan dan partisipasi anak baik di Desa maupun Kab Kebumen.

Kepedulian dan kemampuan laki laki lulusan Tarbiyah STAINU Kebumen ini, dalam menyampaikan informasi tentang hak hak anak (Konvensi Hak Anak) dan perlindungan anak (UUPA 23/2002), memahami bentuk bentuk kekerasan terhadap anak, partisipasi anak, serta melakukan kegiatan advokasi tidaklah timbul begitu saja. Saat desanya terpilih menjadi salah satu desa dampingan Plan Indonesia yaitu lembaga yang fokus pada anak, Ayah 3 putra ini pun bersedia ikut terlibat menjadi relawan sehingga ia sering mendapat kesempatan terlibat dalam banyak pelatihan dan kegiatan anak di desanya. Sesuai dengan motto dalam hidupnya “sebaik - baiknya manusia adalah yang bisa memberi manfaat bagi sesama. Ia pun tak lelah untuk melakukan hal hal yang bermanfaat buat warga dilingkungannya dengan sukarela

Awalnya, kami banyak mendapat penolakan baik dari orangtua, pemerintah Desa dan Kecamatan, serta dipertanyakan keabsahan lembaga. Saat mulai melakukan sosialisasi tentang pentingnya hak hak anak dan perlindungan anak, banyak orang tua yang menentang, “Wong anak anak ku dewe, ya hak saya sebagai orang tua. Kalau kamu mencegah anak kulo kerjo neng jobo, sampeyan iso gantek no?”.

Kami juga ditolak saat membantu proses penanganan masalah anak di Kepolisian dan Kejaksaan. Lembaga kami dianggap illegal dan tidak jelas oleh pihak Kepolisian, “Siapa anda, apa maksud dan tujuan kalian datang ke sini, dan ada kepentingan apa?”. Miris juga rasanya, kenang Guru MTs ini. Akhirnya kami dibantu oleh lembaga lain (baca;LSM) yang fokus pada masalah anak dan pada akhirnya kami bisa terlibat dalam proses penanganannya. Alhamdulillah setelah itu, si anak bisa melanjutkan sekolahnya lagi

Yang paling susah lanjut Babeh panggilan akrabnya, adalah saat bicara tentang pernikahan anak yaitu adanya perbedaan pada Undang Undang Perkawinan yaitu usia anak minimal 16 tahun, padahal di UUPA usia anak dibawah 18 tahun. Budaya di desa juga sangat mempengaruhi, “kalau anak gadis usianya sudah 20 tahun itu sudah dianggap perawan kasep (perawan tua) dan kalau sudah ada yang minta atau ditembong (dilamar) buat dinikahkan, tidak boleh ditolak, karena takut anaknya bakal jadi perawan tua untuk selamanya”. Jadi kami harus melakukan sosialisasi tak hanya dimasyarakat saja tetapi juga kepada petugas KUA Kecamatan. Alhasil pernikahan anak juga sudah berkurang bahkan tidak ada lagi

Tingginya angka Drop Out (putus sekolah) anak perempuan juga sudah teratasi. Selain jauhnya jarak ke sekolah, anak anak sendiri tidak punya motivasi yang tinggi untuk melanjutkan sekolah. Tamat SD biasanya mereka tidak mau melanjutkan, dan lebih memilih kerja ke luar dari Desa. Kalau sudah ketemu cowok, pulang ke Desa, kemudian mereka menikah. Melalui KPAD, Mardiadi berhasil mensosialiasaikan pentingnya pendidikan dan mendorong pemerintah dalam membangun sekolah yang dekat dengan desa, sehingga akses sekolah menjadi lebih dekat. Sekarang anak perempuan sangat tinggi keinginannya untuk melanjutkan sekolah lagi. Kalau pun ada yang DO atau tidak melanjutkan sekolah, itu hanya lebih disebabkan faktor ekonomi semata-mata. Kondisi sekarang malah terbalik, anak laki laki yang banyak bekerja dan tidak melanjutkan sekolah. Ini jadi masalah juga karena terjadi diskriminasi juga terhadap anak laki laki.

Mardiadi juga menceritakan bagiamana perilaku Ibu Ibu di desa yang sering melakukan kekerasan verbal pada anak, “kalo bahasa Kebumen dibilang di goblok globok ke dan suka membanding bandingkan anaknya dengan anak orang lain”. Nah kalau anaknya mendengar, pasti ada dampak pada anak tersebut. Tapi sekarang sudah tidak lagi seperti itu dan sudah sangat terbangun komunikasi antar anak dan orang tua secara terbuka. Kekerasan terhadap anak juga sangat minim, bahkan sudah sangat jarang. Ia pun menambahkan informasi terkait dengan pemenuhan atas Hak Identitas anak, alhamdulillah saat ini hanya tinggal 0.05% saja yang belum punya akte, itupun dikarenakan faktor tehnis dan sedang dalam proses penyelesaian.

Kerja keras suami dari Kartem ini memang membuahkan hasil yang manis. Seringnya sosialisasi yang kami lakukan, masyarakat mendapat pengetahuan yang baik tentang anak, pemerintah desa pun semakin paham apa peran dan fungsi kami dimasyarakat. Penolakan tentang KPAD adalah organisasi yang dibentuk oleh Plan pun mulai memudar, kekhawatiran anaknya akan dibawa keluar negeri pun hilang. Pemdes semakin menyadari bahwa KPAD (Kelompok Perlindungan Anak Desa) ini memang Lembaga yang sangat diperlukan dan adalah milik Desa. Berdasarkan kesepakatan bersama kami menggantikan nama KPA menjadi KPAD dan menghindari terjadinya keberagaman nama kedepan. KPAD menjadi organisasi kuat dan terorganisir, ada struktur yang jelas, ada dokumen kerja, ada alur layanan perlindungan anak, dokumentasi kegiatan, menjadikannya layak menjadi institusi Desa. Akhirnya, di tahun 2011 Pemdes pun mau mengeluarkan SK tentang Kelompok Perlindungan Anak Desa yang diakui sebagai salah satu lembaga Desa, yang mengacu pada UUPA yang menjelaskan peran masyarakat dalam penyelenggaraan PA dan PERDA 9 tahun 2004 yang mengatur tentang Kelembagaan Desa di Kebumen. “Tidak ada alasan KPAD tidak ada cantolan aturan hukumnya”, tegas Ketua KPAD ini

Apalagi setelah mendapat SK Desa, peran kami untuk perlindungan anak semakin mudah. Kami bisa mendompleng kegiatan di Desa, dengan kata lain “sosialiassasi dengan banyak media dan efisiensi biaya”. Dipertemuan Desa, RW dan RT maupun kegiatan dan hajatan-hajatan Desa. Kedudukan sebagai tokoh agama di desa Logandu, sering diminta untuk memberikan ceramah-ceramah di Desa. Pada kesempatan apapun, pria yang hobby membaca dan berorganisasi ini, selalu menyelipkan pesan tentang hak hak anak dan perlindungan anak. Memang kerja KPAD ini kan lebih banyak pada pencegahan (80%) dan penanganan/merujuk kasus saja sekitar 20%

Sekarang KPAD sudah bisa diterima baik di Kepolisian, Kejaksaan dan juga Pengadilan. Kami sering diundang saat ada kegiatan bersama aparat penegak hukum di tk Kabupaten, sehingga terjalin komunikasi yang aktif dan saling mengenal. Bahkan kami sudah bisa berkontak langsung dengan Polres kalau masalah anak yang tidak dapat diselesaikan di Tk Polsek.

ADVOKASI ANGGARAN, PERDES DAN PERDA PERLINDUNGAN ANAK

Perjuangan Mardiadi untuk membuat KPAD sebagai organisasi yang diakui dan berkelanjutan, ternyata masih belum selesai, dalam melaksanakan amanat perlindungan anak. Saat mengajukan anggaran untuk KPAD di Desa melalui RKA (Rencana Kerja Anggaran), pemerintah kecamatan mempertanyakan kembali siapa itu lembaga KPAD karena dianggap sebagai organisasi yang dibuat oleh Plan dan aturannya juga adalah aturan Plan. Saat itu dipanggil untuk menghadap Pak Camat, ia tak ciut nyali, bahkan sudah siap membawakan buku UUPA 23/2002 yang disahkan oleh Ibu Megawati sebagai Presiden RI dan bukan aturan dari Plan Indonesia. Saya juga membawa PERDA tentang Kelembagaan Desa dan Pengelolaan Keuangan Desa, biar nyambung. Saya jelaskan dan tunjukkan aturan aturannya, barulah Pak Camat mengerti dan setuju untuk memberikan anggaran operasional bagi KPAD tahun 2012. Selanjutnya, dari 15 KPAD yang difasilitasi oleh Plan Indonesia di Kebumen, kami menginisiasi pembentukan Forum KPAD di tingkat Kabupaten dan Alhamdulillah, tahun 2012 Forum KPAD terbentuk dan mendapat dukungan dari BPMPKB dengan menyediakan ruang untuk Sekretariat Forum KPAD tk Kabupaten. Saya dipercaya sama teman teman menjadi Ketua Forum KPAD tk Kabupaten

Melalui KPAD kami berhasil mendorong pembuatan PERDES Perlindungan Anak di Desa yang mengatur tentang pemenuhan hak hak anak di Desa. Baik tentang pemberian akte kelahiran; wajib mencegah adanya usia pernikahan anak dan tidak menggunakan bahasa melarang pernikahan anak pada PERDES PA, karena ada kaitannya dengan UU Perkawinan tahun 1974; tentang pekerja anak, perlu dketahui lebih lanjut dengan siapa anak itu bekerja, dengan siapa dia tinggal ditempatnya bekerja, dan nomor yang bisa dihubungi jika ingin berkomunikasi; kami juga membuat jam belajar anak yang dibuat berdasarkan kesepakatan dengan Komite Sekolah dan Guru yaitu jam 19 – 20 WIB. Orang tua juga dipastikan untuk mendampingi anak saat anak-anak belajar. Jangan saat anaknya belajar, orang tua sibuk nonton TV atau sibuk sendiri; partispasi anak dalam kegiatan desa dan proses prencanaan di tingkat desa juga menjadi prioritas; dan lain sebagainya

Kami juga sadar, bahwa Plan Indonesia tidak akan selamanya ada dan mau selesai di Kebumen (phase out). Kami bersama Plan melakukan advokasi ke BPMPKB (Badan Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Keluarga Berencana) serta LSM lokal di Kebumen untuk menginisiasi PERDA (Peraturan Daerah) tentang Perlindungan Anak, karena memang belum ada di Kebumen. Dalam pembuatan PERDA ini memakan proses yang cukup panjang dan lama juga mentok didewan. Setahun perjuangan kami, akhirnya PERDA penyelenggaraan Perlindungan Anak (PPA) No 3 tahun 2013 di sahkan dan ada klausul yang jelas tentang kelembagaan KPAD yang diakui sebagai lembaga yang menyediakan layanan Perlindungan Anak di Desa.

Untuk memperkuat pelaksanaan PERDA PPA, harus dilanjutkan dengan pembuatan PERBUB yang mengamanatkan bahwa setiap Desa/Kelurahan harus membentuk KPAD/K. Namun, setelah ada PERDA dan PERBUB kebijakan ini belum bisa berjalan sesuai dengan aturan yang ada. Kami pun bersama BPMPKB ditahun 2015 ini mengadakan pertemuan lintas sektoral antar SKPD dan meminta SEKDA untuk memfasilitasi pertemuan agar semua SKPD mendukung terbentuknya KPAD/K di semua Desa. Hingga kini sudah terbentuk 84 KPAD/K di Kebumen dan tahun 2016 ini diharapkan seluruh desa di Kebumen sejumlah 449 KPAD terbentuk. Setelah ada payung hukum, ditahun 2015, KPAD sudah mendapat dukungan anggaran sebesar Rp 80 juta, Forum Anak Rp 70 juta dan untuk pemenuhan PA Rp 125 juta. Sekarang, KPAD sudah menjadi partnernya pemerintah untuk memfasilitasi pembentukan KPAD di desa desa lain serta terlibat aktif jika ada masalah masalah anak

MENINGKATKAN PARTISIPASI ANAK DALAM PEMBANGUNAN

Mardiadi menjelaskan bahwa peran lain dari KPAD adalah menjadi pendamping kelompok anak dan bagaimana menjadikan anak mampu dan berdaya. Sebagai pendamping anak, Mardiadi selalu mempromosikan pentingnya suara anak untuk di dengarkan, baik dirumah dan dilingkungannya.

Anak anak pasti bisa, asal dberi ruang dan kesempatan oleh orang dewasa untuk berperan serta dimasyarakat. Misalnya, dalam sosialisasi dan promosi hak anak, peran anak sangat penting, karena melalui teman sebaya akan sangat mudah untuk dimengerti dan dipahami (peer educator). Ketika anak punya masalah, akan lebih enak kalau mereka menceritakannya melalui anak. Anak anak juga aktif membuat brosur, pamflet, stiker, kegiatan seni baik lewat theatre dan drama yang mempromosikan hak hak anak


Kami sebagai orang dewasa harus memberi ruang bagi anak untuk berpartisipasi dalam pembangunan yang kami wujudkan dalam bentuk partisipasi anak dalam rencana penyusunan pembangunan desa. Pelibatan anak ini bukan lagi formalitas yaitu hanya datang untuk “mengamini” dan sekadar hadir saja disitu, tetapi mereka benar benar memberikan masukan yang jelas dari sudut pandang anak. Dan semua proses sudah kami mulai pada tingkat dusun dulu, kemudian di tk Desa, kecamatan dan juga Kabupaten. Kan sekarang Forum anak sudah ada dari tk Desa, Kecamatan hingga Kabupaten.*Yy*

 

Monday, May 26, 2014

MENYOAL REVISI UNDANG UNDANG PERLINDUNGAN ANAK No 23 TAHUN 2002


APAKAH SUDAH DILAKUKAN KAJIAN MENDALAM?”
Oleh; Yuyum Fhahni Paryani – CBCP Specialist Plan Indonesia

Genap dua belas (12) tahun sudah Undang Undang Perlindungan Anak diterbitkan. Perjuangan rekan rekan yang bergerak di bidang anak pun tak sia sia tentunya setelah pemerintah Indonesia menerbitkan UUPA tersebut. Kendati terkesan lambat, sejak ratifikasi Konvensi Hak Anak (United Nations Convention on the Rights of the Child (UNCRC) dengan  KEPUTUSAN PRESIDEN no. 36/1990 (selama 12 tahun), tetapi patut kita syukuri bahwa di Indonesia sudah ada UUPA No 23 tahun 2002. Hanya saja, sepanjang waktu berjalan, sangat disayangkan banyak masyarakat bahkan pemangku kewajiban belum banyak yang tahu bahkan belum pernah mendengar adanya undang undang tersebut.  Tak sedikit, para pemerhati anak atau lembaga lembaga yang fokus pada anak, mulai mempertanyakan isi dari undang  undang tersebut.

Membaca disebuah website KPAI (Komite Perlindungan Anak Indonesia), mereka mengajak 1 Juta tangan  untuk mendukung revisi undang undang perlindungan anak. “Kami ingin hukuman bagi pelaku bukan maksimal 15 tahun penjara, melainkan hukuman mati.Undang-Undang Perlindungan Anak saat ini dipandang belum menimbulkan efek jera bagi pelaku. Hukuman seumur hidup atau hukuman mati perlu diterapkan terhadap pelaku kekerasan dan kejahatan seksual. kata Ketua Komunitas Parenting Cibubur Eva Dewi di Gedung Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jakarta, Senin (5/5/2014).

Sayangnya, isi dari ajakan tersebut kurang mendasar dan tidak disertai kajian ilmiah untuk merubah Hukum di Indonesia. Mengapa kita perlu merevisi, apakah hanya melihat sisi ancaman 15 tahun yang tidak cukup pada pelaku predator anak atau memang sudah ada kajian mendalam bahwa UUPA 23 tahun 2002 tersebut memang layak untuk di revisi?. Hingga saat ini, belum ada kajian mendalam dari berbagai pihak untuk merevisi undang undang tersebut, agar memiliki alasan yang kuat untuk merevi dan membuat kebijakan yang memang betul-betul melindungi anak Indonesia. Bukan sebagai tindakan yang reaktif sesaat.

Secara global, jika membicarakan Perlindungan Anak , umumnya merujuk pada  KHA pasal 19 yaitu negara negara peserta akan mengambil semua langkah langah legislatif , administratif, sosial dan pendidikan untuk melindungi anak dari semua bentuk kekerasan fisik dan mental, cidera atau penyalahgunaan, penelantaran atau perlakukan salah atau eksploitasi, termasuk penyalahgunaan seksual, sementara berada  dalam asuhan orang tua, wali atau  orang lain yang memelihara anak.

UNICEF (United Nations of Children's Fund) menggunakan istilah perlindungan anak untuk merujuk pada pencegahan dan tanggapan/respon  terhadap kekerasan, eksploitasi, dan penyalagunaan pada anak – termasuk  eksploitasi sexual komersial,  perdagangan manusia, pekerja anak, dan praktek praktek tradisional yang berbahaya seperti sunat pada anak perempuan dan perkawinan anak[1].

Dalam  Konvensi Hak Anak (KHA) yang terdiri dari 54 pasal. Khusus untuk Hak Perlindungan “ Menjaga Keamanan dari Bahaya”[2], protection list by UNICEF menyebutkan beberapa article terkait perlindungan anak antara lain:  Pasal 4 (Hak Perlindungan): Pasal 11 (Penculikan); Pasal 19 (Perlindungan dari segala bentuk kekerasan); Pasal 20 (Anak-anak kehilangan dari lingkungan keluarga);  Pasal 21 (Adopsi): Pasal 22 (Anak-anak pengungsi); Pasal 32 (pekerja anak): Pasal 33 (penyalahgunaan obat/Napza); Pasal 34 (Eksploitasi seksual); Pasal 35 (penculikan, penjualan dan perdagangan): Pasal 36 (bentuk lain dari eksploitasi); Pasal 37 (Penahanan dan hukuman); Pasal 38 (Perang dan konflik bersenjata): Pasal 39 (Rehabilitasi dari korban anak): Pasal 40 (keadilan Juvenile); Pasal 41 (Menghormati standar nasional superior)

Jika mengkaji UUPA No 23/2002,  terdiri dari 93 pasal  yang berisikan tentang: bagian 1. Pengertian Anak; bagian 2. Pelindungan Anak (Definisi Anak; Kewajiban dan Tanggungjawab negara dan Pemerintah; Kewajiban dan Tanggung Jawab Orangtua; Kewajiban dan Tangungjawab Keluarga); bagian 3. Penyelenggaraan Perlindungan Anak (Asas Perlindungan, Penyelenggaraan Perlindungan di Bidang Agama; Penyelenggaraan Perlindungan Anak di Bidang Kesehetan; Penyelenggaraan Perlindungan Anak di Bidang Pendidikan; Penyelenggaraan Pelindungan di Bidang Sosial; Penyelenggaraan Pelindungan di Bidang Perlindungan Khusus); bagian 4. Hak dan Kewajiban Anak (Hak Anak dan Kewajiban Anak); bagian 5. Kedudukan Anak (Definisi Kedudukan Anak; Identitas Anak Dalam Akta Kelahiran; Kedudukan Anak dari Perkawinan Campuran); bagian 6. Bentuk Alternatif Orangtua Pengganti (Orangtua Asuh dan Pengasuhan, Pengangkatan Anak); bagian 7. Peran masyarakat dalam perlindungan anak; bagian 8. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (Definisi KPAI; Keanggotaan KPAI; Tugas KPAI); 9. Ketentuan pidana di dalam UUPA[3]

Jika kita mencermati apa yang tersaji dalam UUPA no 23/2002, jelas kita melihat perbedaan yang sangat significant di UUPA, antara lain:
§  UUPA lebih  menjelaskan pada Perlindungan Hak Hak Anak dari pada Perlindungan Anak itu sendiri (lihat bagian 3 paragrap di atas) yaitu Penyelenggaraan Perlindungan di Bidang Agama, Kesehatan, Pendidikan, Sosial dan Perlindungan Khusus.  

§  Isi UUPA lebih menekankan pada pengasuhan dan pidana hukum atau ancaman. Tidak mengacu pada pencegahan dan tanggapan/respon, seperti yang sudah banyak dilakukan oleh lembaga lembaga (INGOs dan NGO) yang fokus pada anak.  (coba anda search  kata “pencegahan” di UUPA, hanya ada 3 kata, dan 1 kata “mencegah”).

§  UUPA no 23 /2002 ini lebih tepat digunakan pada pelaku dewasa dan tidak tepat jika di gunakan pada pelaku (baca: korban) masih dalam usia anak. Bagaimana kalau pelakunya adalah anak, apakah mereka layak untuk dihukum selama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 300.000,000 (tiga ratus juta). Untuk Pelaku anak saat ini (Anak yang berkonflik dengan Hukum) sudah ada Undang Undang Sistem Peradilan Anak no 11/2012.

§  UUPA no 23/2002 menjelaskan adanya kewajiban anak (pasal 19) yang isinya adalah a) mengormati orang tua, wali, dan guru; b) mencintai keluarga, masyarakat dan menyayangi teman; c) mencintai tanah air, bangsa dan negara; d) menunaikan ibadah seuai dengan ajran agamanya dan ; e) melaksanakan etika dan ahklak mulia. Sebagaimana yang kita ketahui HAK adalah sesuai yang melekat dalam diri manusia sejak lahir, sehingga tidak ada unsur kewajiban yang melekat pada setiap orang. Kewajiban yang disebutkan dalam UUPA ini juga sulit untuk di ukur atau dijelaskan apa tolok ukurnya karena lebih bersifat pada norma dan agidah. Misalnya, menghormati orang tua, mencintai keluarga, melaksanakan etika dan ahlak mulia, dll

§  Akte kelahiran yang tidak masuk dalam protection list by Unicef, tetapi  tergambar dengan jelas di UUPA. Di dalam KHA memasukan Akta Kelahiran berada dalam kluster 4 yaitu Hak dan Kebebasan Sipil (ps 7-8, 13-17, 37[a]). Pembuatan Akta Kelahiran di UUPA di sebutkan tidak dikenakan biaya, tetapi pada kenyataannnya pembuatan Akta Kelahiran ini masih dipungut biaya dan sangat ribet dalam menyiakan dokumen dokumen persyaratannya.

§  Bagi Anda sebagai masyarakat, UUPA ini akan sangat membahayakan karena “jika anda tahu dan dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat daalam pasal 60 dan pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus di bantu, anda bisa dipidana penjara paling lama 5 tahun dan atau denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah)

§  Satu hal yang cukup memprihatinkan, uang atau denda yang di pungut dalam UUPA ini tidak belum ada kompensasi yang jelas bagi para korbannya sendiri. Seolah olah, negara memungut uang dari hasil kejahatan seseorang terhadap anak dan tidak ada/belum ada mekanisme yang dirasakan langsung oleh korban itu sendiri.

Besar harapan, jika memang jadi merevisi undang undang perlindungan anak, semoga dilakukan kajian mendalam. UUPA betul betul bergerak memprioritaskan layanan pencegahan,  menyediakan layanan respon dan rehabilitasi yang komprehensif. Memperbaiki konten yang spesifik dengan perlindungan anak dan tidak melebar pada pemenuhan Hak Hak Anak. Membatasi usia minimum pelaku yang dikenakan pada pasal ancaman dan memasukkan unsur/ mekanisme jika pelakunya adalah anak. Membuat efek jera pada pelaku dewasa sehingga tidak lagi mengulangi perbuatan mereka. Membuat mekanisme yang jelas bagi korban sehingga betul betul hak hak mereka terpenuhi dan tidak menjadi korban lagi akibat layanan pemerintah yang tidak responsif. Menguatkan peran serta orangtua, keluarga dan masyarakat dalam menyediakan layanan pencegahan (community based child protection) . Mengacu pada hasil UN Study Violence Against Children (2006)[4] yaitu perlindungan anak pada setting Rumah dan Keluarga; Sekolah dan Pendidikan; Institusi dan Penjara; Tempat Kerja, serta di Masyarakat. Serta memasukkan kekerasan anak di dunia Dunia Maya (violence in the virtual world).

Semoga, kita bisa benar-benar bisa melindungi anak Indonesia dan tetap mengacu pada kepentingan yang terbaik pada anak (the best interest of child)

 



[1] http://www.unicef.org/chinese/protection/files/What_is_Child_Protection.pdf
[2] Protection _list by Unicef
[3] Perlindungan Anak, berdasarkan UUPA No 23/2002 Tentang Perlindungan Anak, unicef.
[4] www.violencestudy.org/