Sunday, June 21, 2015

ANGELINE - BANYAK HAK ANAK YANG TIDAK DIDAPATKAN SEBAGAI ANAK INDONESIA

#RIP ANGELINE – IKON ANTI KEKERASAN TERHADAP ANAK


10 Juni 2015, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan kasus pembunuhan anak perempuan usia 8 tahun, yang bersekolah di SDN 12 Sanur-Bali. Gadis belia ini, ditemukan tewas dan terkubur di halaman belakang rumahnya, badannya meringkuk sambil memeluk boneka perempuan berwajah korea. Sebelumnya, Angeline dikabarkan hilang dari rumah sejak tanggal 16 Mei 2015.

Angeline adalah anak yang diangkat oleh keluarga Douglash dan Margriet pada usia nya baru 3 hari. Hanya dengan kesepakatan di Akta pengakuan pengangkatan anak di Notaris, dianggap selesailah proses adopsi Angeline. Orangtua kandung Angeline (Achmad Rosyidi dan Hamidah). menerima uang Rp 1,8 juta untuk melepaskan Angeline pada orangtua angkatnya. Bisa dibayangkan, dalam usia baru 3 hari, Angeline sudah tidak lagi mendapat kasih sayang orangtuanya dan tidak merasakan air susu ibu yang selayaknya harus ia terima. Ibu kandungnya pun menyatakan tidak pernah bertemu dengan Angeline pasca memberikan kepada keluarga angkatnya, dan tiba- tiba muncul menangis meraung raung dan meratapi nasib anaknya yang mati dibunuh. Telat sudah, reaksi yang berlebihan seakan merasa bersalah yang dalam karena telah memberikan anaknya kepada orang yang tidak tepat atau ada sandiwara lain yang belum terugkap?

Dalam kasus adopsi, di akta notaris disebutkan bahwa orangtuanya tidak boleh menemui anaknya hingga ia dewasa. Secara nyata telah menghilangkan hak atas identitas Angeline dan apakah Angeline memiliki Akta Kelahiran (?) ini yang belum terungkap. Di Media pernah di tampilkan bahwa Angeline masuk dalam daftar Kartu Keluarga Douglash dan Margriet Dikhawatirkan jika ia memiliki akta kelahiran, bisa jadi nama orangtua kandung Angeline pun sudah diganti dengan nama orangtua angkatnya, sebagaimana layaknya kasus kasus adopsi anak di Indonesia. Dimana banyak orang tua yang dengan sengaja menggantikan nama orangtua asli dengan nama orangtua angkatnya di Akta Kelahiran anak angkat mereka dengan tanpa melalui proses adopsi yang sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku.


UUPA no 35 th 2014, Pasal 14 ayat (2) menyebutkan “dalam hal terjadi pemisahan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), anak tetap berhak; a) bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua orangtuanya. Pasal 27 , (1) Identitas diri setiap Anak harus diberikan sejak kelahirannya. ; (2) Identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran.

Jika menyimak dari sisi usia, saat tiada Angeline berumur 8 tahun dan usia sang ibu kandung 26 tahun. Angline adalah anak ke dua dari 3 saudara kandungnya. Artinya, Sang Ibu menyerahkan bayi Angeline, saat ia berusia 18 tahun. Dan bisa ditelaah bahwa ia menikah muda yaitu sekitar umur 15-16 tahun. Wajar, jika ia hanya mencari jalan termudah untuk menyelamatkan hidupnya dan anaknya dengan cara memberikannya pada orang lain. Di usia muda pula, pasutri ini sudah harus menangung dua anak dengan ekonomi yang tidak mapan dan belum bisa berfikir atau mendapat informasi yang benar tentang bagaimana proses adopsi anak dan tidak mengetahui bahwa Angeline perlu diberikan ASI selama 2 tahun untuk tumbuh kembangnya yang lebih baik. Setelah mendapat uang dan anaknya di adposi orang lain, masalah dianggap selesai.

Salah satu mengapa banyak pihak yang ingin mencegah pernikahan anak, adalah dampak yang akan ditimbulkan kedepan. Banyak orang tua merasa tidak ada masalah apa - apa jika anaknya dinikahkan pada usia muda, malah dianggap melepaskan beban ekonomi keluarga. Selain itu, UU Perkawinan no 1 Tahun 1974 dibenarkan menikah di usia 16 tahun. Namun, tanpa disadari, kasus Angeline adalah salah satu contoh nyata korban dari pernikahan anak. Dimana orangtuanya tak mampu menebus biaya rumah sakit dan butuh uang untuk memenuhi ekonomi keluarga, dan pada akhirnya mereka juga memilih untuk bercerai.

Pasal 1, UUPA no 35 Tahun 2014 menyebutkan bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Pasal 26, UUPA no 35 Tahun 2014, Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak;

Di kesehariannya, Angeline harus berjalan kaki sejauh 2 km menuju sekolah, tidakkah orangtua atau gurunya berfikir bagaimana keselamatan Angeline selama dalam perjalanan? Ia pun selalu tampil lusuh, kotor dan bau setibanya di sekolah. Ia tak berani mengatakan apa yang ia alami. Ada rasa takut dari sorot matanya saat ia ditanya. Ia memilih diam dan bungkam. Setelah ditanya oleh guru kelasnya beberapa kali, kenapa ia selalu terlambat (?) baru lah ia menjawab “saya harus memberi makan ayam, kucing dan anjing dulu”. Berapa ayam yang kamu kasi makan, tanya gurunya lagi. 50 ekor, jawab Angeline. Serentak teman sekelas dan gurunya menjerit kaget. Jelas dari apa yang dialami Angeline ini, adalah kasus penelantaran anak dan eksploitasi secara ekonomi. Ia dengan sengaja ditelantarkan oleh orang tua angkatnya, disuruh bekerja yang tidak sesuai dengan kemampuannya serta tidak lagi mendapat perhatian dan kasih sayang. Ia pun sering mendapat kekerasan baik fisik maupun mental (emosional), jika ia dipanggil tidak mendengar atau kerjaan yang ia lakukan masih dianggap belum bersih atau selesai.

Berdasarkan UUPA no 35 tahun 2014, pasal 13 menyebutkan (1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: a. diskriminasi;b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c. penelantaran; d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; e. ketidakadilan; dan f. perlakuan salah lainnya. (2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.

Dari kasus Angeline ini pun, banyak memberikan pelajaran buat kita selaku secondary duty bearer, betapa perlunya kemampuan masyarakat untuk bisa mengidentifkasi ciri ciri terjadinya kekerasan pada anak. Hal ini dimaksudkan untuk melakukan tindakan preventif atau pencegahan dari pada berakibat fatal. Seperti yang dilakukan Guru wali kelasnya, hanya mendekam dalam hati terhadap apa yang ia curigai, namun tidak ada tindakan nyata untuk menyelamatkan Angeline. Bisa jadi, Ibu Guru tersebut memang tidak dibekali pengetahuan untuk melihat ciri ciri anak yang mengalami kekerasan, dan ia juga tidak tahu harus melapor kemana atas kecurigaannya.

Tidak sama halnya dengan akses layanan kesehatan dan pendidikan, jika anak kita sakit akan mudah mencari Pak Mantri, Bidan Desa atau Pustu di Desa. Kalau anak memasuki usia sekolah, tersedia akses pendidikan baik PAUD, TK, dan SD di Desa. Disadari atau tidak, kita tidak/belum tahu kepada siapa atau lembaga atau instusi apa kita bisa/harus melaporkan kecurigaan dan temuan kita di masyarakat terkait kekerasan anak (?).

Persepsi bahwa anakku adalah urusanku, aku yang kasi makan, aku yang biayai sekolah, aku yang kasi hidup. Jadi tidak boleh ada orang lain yang ikut campur tangan. Pemahaman seperti ini tidak lagi bisa dibenarkan, urusan kekerasan bukan lagi menjadi ranah domestic dan hanya menjadi urusan pribadi orangtua saja. Tapi hal ini bisa diintervensi oleh pihak lain yang berada dilingkungan sekitar anak, baik keluarga, teman sebaya, masyarakat, guru, tetangga, pemerintah dsbnya. “Anakmu adalah Anakku, Anakku adalah Anak Kami, Anak Kami adalah anak Kita Semua - Anak Indonesia”

UUPA no 35, Tahun 2014, Pasal 72 (1) Masyarakat berperan serta dalam Perlindungan Anak, baik secara perseorangan maupun kelompok. (2) Peran Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga kesejahteraan sosial, organisasi kemasyarakatan, lembaga pendidikan, media massa, dan dunia usaha.
Pasal 73A (1) Dalam rangka efektivitas penyelenggaraan Perlindungan Anak, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perlindungan Anak harus melakukan koordinasi lintas sektoral dengan lembaga terkait. (2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pemantauan, evaluasi, dan pelaporan penyelenggaraan Perlindungan Anak.

Selamat jalan Angeline, jadilah bidadari dan cahaya terang untuk anak Indonesia yang terlindungi dari segala bentuk kekerasan…amin.*YeYe*


No comments:

Post a Comment