“APAKAH SUDAH DILAKUKAN KAJIAN MENDALAM?”
Oleh; Yuyum Fhahni Paryani – CBCP Specialist
Plan Indonesia
Genap dua belas (12) tahun sudah Undang
Undang Perlindungan Anak diterbitkan. Perjuangan rekan rekan yang bergerak di
bidang anak pun tak sia sia tentunya setelah pemerintah Indonesia menerbitkan
UUPA tersebut. Kendati terkesan lambat, sejak ratifikasi Konvensi Hak Anak (United
Nations Convention on the Rights of the Child (UNCRC) dengan
KEPUTUSAN
PRESIDEN no. 36/1990 (selama 12 tahun), tetapi patut kita syukuri bahwa
di Indonesia sudah ada UUPA No 23 tahun 2002. Hanya saja, sepanjang waktu
berjalan, sangat disayangkan banyak masyarakat bahkan pemangku kewajiban belum banyak
yang tahu bahkan belum pernah mendengar adanya undang undang tersebut. Tak sedikit, para pemerhati anak atau lembaga
lembaga yang fokus pada anak, mulai mempertanyakan isi dari undang undang tersebut.
Membaca disebuah website KPAI (Komite Perlindungan Anak Indonesia), mereka mengajak 1 Juta tangan untuk mendukung revisi undang undang
perlindungan anak. “Kami ingin hukuman
bagi pelaku bukan maksimal 15 tahun penjara, melainkan hukuman mati.Undang-Undang
Perlindungan Anak saat ini dipandang belum menimbulkan efek jera bagi pelaku. Hukuman
seumur hidup atau hukuman mati perlu diterapkan terhadap pelaku kekerasan dan
kejahatan seksual. kata Ketua Komunitas Parenting Cibubur Eva Dewi di Gedung
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jakarta, Senin (5/5/2014).
Sayangnya, isi dari ajakan
tersebut kurang mendasar dan tidak disertai kajian ilmiah untuk merubah Hukum
di Indonesia. Mengapa kita perlu merevisi, apakah hanya melihat sisi ancaman 15
tahun yang tidak cukup pada pelaku predator anak atau memang sudah ada kajian
mendalam bahwa UUPA 23 tahun 2002 tersebut memang layak untuk di revisi?. Hingga
saat ini, belum ada kajian mendalam dari berbagai pihak untuk merevisi undang
undang tersebut, agar memiliki alasan yang kuat untuk merevi dan membuat
kebijakan yang memang betul-betul melindungi anak Indonesia. Bukan sebagai tindakan yang reaktif sesaat.
Secara global, jika membicarakan
Perlindungan Anak , umumnya merujuk pada
KHA pasal 19 yaitu negara negara
peserta akan mengambil semua langkah langah legislatif , administratif, sosial
dan pendidikan untuk melindungi anak dari semua bentuk kekerasan fisik dan
mental, cidera atau penyalahgunaan, penelantaran atau perlakukan salah atau
eksploitasi, termasuk penyalahgunaan seksual, sementara berada dalam asuhan orang tua, wali atau orang lain yang memelihara anak.
UNICEF (United Nations of Children's Fund) menggunakan
istilah perlindungan anak untuk merujuk pada pencegahan dan tanggapan/respon
terhadap kekerasan, eksploitasi, dan
penyalagunaan pada anak – termasuk eksploitasi sexual komersial, perdagangan manusia, pekerja anak, dan
praktek praktek tradisional yang berbahaya seperti sunat pada anak perempuan dan
perkawinan anak[1].
Dalam Konvensi Hak Anak (KHA) yang terdiri dari 54
pasal. Khusus untuk Hak Perlindungan “ Menjaga Keamanan dari Bahaya”[2],
protection list by UNICEF menyebutkan beberapa article terkait perlindungan
anak antara lain: Pasal 4 (Hak
Perlindungan): Pasal 11 (Penculikan); Pasal 19
(Perlindungan dari
segala bentuk kekerasan); Pasal
20 (Anak-anak kehilangan dari lingkungan
keluarga); Pasal
21 (Adopsi):
Pasal 22 (Anak-anak pengungsi); Pasal 32 (pekerja anak): Pasal 33
(penyalahgunaan obat/Napza);
Pasal 34 (Eksploitasi seksual); Pasal 35 (penculikan, penjualan dan perdagangan): Pasal 36
(bentuk lain dari eksploitasi); Pasal 37 (Penahanan dan hukuman); Pasal
38 (Perang
dan konflik bersenjata): Pasal 39 (Rehabilitasi dari korban anak): Pasal 40 (keadilan Juvenile); Pasal
41 (Menghormati standar nasional superior)
Jika mengkaji UUPA No 23/2002, terdiri dari 93 pasal yang berisikan tentang: bagian 1. Pengertian Anak; bagian 2. Pelindungan Anak (Definisi Anak; Kewajiban dan Tanggungjawab negara dan Pemerintah; Kewajiban dan Tanggung Jawab Orangtua; Kewajiban dan Tangungjawab Keluarga); bagian 3. Penyelenggaraan Perlindungan Anak (Asas Perlindungan, Penyelenggaraan Perlindungan di Bidang Agama; Penyelenggaraan Perlindungan Anak di Bidang Kesehetan; Penyelenggaraan Perlindungan Anak di Bidang Pendidikan; Penyelenggaraan Pelindungan di Bidang Sosial; Penyelenggaraan Pelindungan di Bidang Perlindungan Khusus); bagian 4. Hak dan Kewajiban Anak (Hak Anak dan Kewajiban Anak); bagian 5. Kedudukan Anak (Definisi Kedudukan Anak; Identitas Anak Dalam Akta Kelahiran; Kedudukan Anak dari Perkawinan Campuran); bagian 6. Bentuk Alternatif Orangtua Pengganti (Orangtua Asuh dan Pengasuhan, Pengangkatan Anak); bagian 7. Peran masyarakat dalam perlindungan anak; bagian 8. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (Definisi KPAI; Keanggotaan KPAI; Tugas KPAI); 9. Ketentuan pidana di dalam UUPA[3]
Jika kita mencermati apa yang
tersaji dalam UUPA no 23/2002, jelas kita melihat perbedaan yang sangat
significant di UUPA, antara lain:
§
UUPA lebih menjelaskan pada Perlindungan Hak Hak Anak dari pada Perlindungan Anak itu sendiri (lihat
bagian 3 paragrap di atas) yaitu Penyelenggaraan Perlindungan di Bidang
Agama, Kesehatan, Pendidikan, Sosial dan Perlindungan Khusus.
§
Isi UUPA lebih menekankan pada pengasuhan dan pidana hukum atau ancaman.
Tidak mengacu pada pencegahan dan tanggapan/respon, seperti yang sudah banyak dilakukan oleh lembaga
lembaga (INGOs dan NGO) yang fokus pada anak. (coba anda search kata “pencegahan” di UUPA, hanya ada 3 kata,
dan 1 kata “mencegah”).
§
UUPA no 23 /2002 ini lebih tepat digunakan pada pelaku
dewasa dan tidak tepat jika di gunakan pada pelaku (baca: korban) masih dalam
usia anak. Bagaimana kalau pelakunya adalah anak, apakah mereka layak untuk
dihukum selama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 300.000,000 (tiga ratus
juta). Untuk Pelaku anak saat ini (Anak yang berkonflik dengan Hukum) sudah ada
Undang Undang Sistem Peradilan Anak no 11/2012.
§
UUPA no 23/2002 menjelaskan adanya kewajiban anak (pasal
19) yang isinya adalah a) mengormati orang tua, wali, dan guru; b) mencintai
keluarga, masyarakat dan menyayangi teman; c) mencintai tanah air, bangsa dan
negara; d) menunaikan ibadah seuai dengan ajran agamanya dan ; e) melaksanakan etika
dan ahklak mulia. Sebagaimana yang kita ketahui HAK adalah sesuai yang melekat
dalam diri manusia sejak lahir, sehingga tidak ada unsur kewajiban yang melekat
pada setiap orang. Kewajiban yang disebutkan dalam UUPA ini juga sulit untuk di
ukur atau dijelaskan apa tolok ukurnya karena lebih bersifat pada norma dan
agidah. Misalnya, menghormati orang tua, mencintai keluarga, melaksanakan etika
dan ahlak mulia, dll
§
Akte kelahiran yang tidak masuk dalam
protection list by Unicef, tetapi tergambar dengan jelas di UUPA. Di dalam KHA
memasukan Akta Kelahiran berada dalam kluster 4 yaitu Hak dan Kebebasan Sipil (ps 7-8, 13-17, 37[a]).
Pembuatan Akta Kelahiran di UUPA di sebutkan tidak dikenakan biaya, tetapi pada
kenyataannnya pembuatan Akta Kelahiran ini masih dipungut biaya dan sangat ribet
dalam menyiakan dokumen dokumen persyaratannya.
§
Bagi Anda sebagai masyarakat, UUPA ini akan
sangat membahayakan karena “jika anda tahu dan dan sengaja membiarkan anak
dalam situasi darurat daalam pasal 60 dan pasal 59, padahal anak tersebut
memerlukan pertolongan dan harus di bantu, anda bisa dipidana penjara paling
lama 5 tahun dan atau denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah)
§
Satu hal yang cukup memprihatinkan, uang
atau denda yang di pungut dalam UUPA ini tidak belum ada kompensasi yang jelas
bagi para korbannya sendiri. Seolah olah, negara memungut uang dari hasil
kejahatan seseorang terhadap anak dan tidak ada/belum ada mekanisme yang
dirasakan langsung oleh korban itu sendiri.
Besar harapan, jika memang jadi
merevisi undang undang perlindungan anak, semoga dilakukan kajian mendalam. UUPA
betul betul bergerak memprioritaskan layanan pencegahan, menyediakan layanan respon dan rehabilitasi yang
komprehensif. Memperbaiki konten yang spesifik dengan perlindungan anak dan
tidak melebar pada pemenuhan Hak Hak Anak. Membatasi usia minimum pelaku yang
dikenakan pada pasal ancaman dan memasukkan unsur/ mekanisme jika pelakunya
adalah anak. Membuat efek jera pada pelaku dewasa sehingga tidak lagi
mengulangi perbuatan mereka. Membuat mekanisme yang jelas bagi korban sehingga
betul betul hak hak mereka terpenuhi dan tidak menjadi korban lagi akibat
layanan pemerintah yang tidak responsif. Menguatkan peran serta orangtua, keluarga
dan masyarakat dalam menyediakan layanan pencegahan (community based child protection) . Mengacu pada hasil UN Study Violence
Against Children (2006)[4]
yaitu perlindungan anak pada setting Rumah dan Keluarga; Sekolah dan
Pendidikan; Institusi dan Penjara; Tempat Kerja, serta di Masyarakat. Serta
memasukkan kekerasan anak di dunia Dunia Maya (violence in the virtual world).
Semoga, kita bisa benar-benar
bisa melindungi anak Indonesia dan tetap mengacu pada kepentingan yang terbaik
pada anak (the best interest of child)