Monday, May 26, 2014

MENYOAL REVISI UNDANG UNDANG PERLINDUNGAN ANAK No 23 TAHUN 2002


APAKAH SUDAH DILAKUKAN KAJIAN MENDALAM?”
Oleh; Yuyum Fhahni Paryani – CBCP Specialist Plan Indonesia

Genap dua belas (12) tahun sudah Undang Undang Perlindungan Anak diterbitkan. Perjuangan rekan rekan yang bergerak di bidang anak pun tak sia sia tentunya setelah pemerintah Indonesia menerbitkan UUPA tersebut. Kendati terkesan lambat, sejak ratifikasi Konvensi Hak Anak (United Nations Convention on the Rights of the Child (UNCRC) dengan  KEPUTUSAN PRESIDEN no. 36/1990 (selama 12 tahun), tetapi patut kita syukuri bahwa di Indonesia sudah ada UUPA No 23 tahun 2002. Hanya saja, sepanjang waktu berjalan, sangat disayangkan banyak masyarakat bahkan pemangku kewajiban belum banyak yang tahu bahkan belum pernah mendengar adanya undang undang tersebut.  Tak sedikit, para pemerhati anak atau lembaga lembaga yang fokus pada anak, mulai mempertanyakan isi dari undang  undang tersebut.

Membaca disebuah website KPAI (Komite Perlindungan Anak Indonesia), mereka mengajak 1 Juta tangan  untuk mendukung revisi undang undang perlindungan anak. “Kami ingin hukuman bagi pelaku bukan maksimal 15 tahun penjara, melainkan hukuman mati.Undang-Undang Perlindungan Anak saat ini dipandang belum menimbulkan efek jera bagi pelaku. Hukuman seumur hidup atau hukuman mati perlu diterapkan terhadap pelaku kekerasan dan kejahatan seksual. kata Ketua Komunitas Parenting Cibubur Eva Dewi di Gedung Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jakarta, Senin (5/5/2014).

Sayangnya, isi dari ajakan tersebut kurang mendasar dan tidak disertai kajian ilmiah untuk merubah Hukum di Indonesia. Mengapa kita perlu merevisi, apakah hanya melihat sisi ancaman 15 tahun yang tidak cukup pada pelaku predator anak atau memang sudah ada kajian mendalam bahwa UUPA 23 tahun 2002 tersebut memang layak untuk di revisi?. Hingga saat ini, belum ada kajian mendalam dari berbagai pihak untuk merevisi undang undang tersebut, agar memiliki alasan yang kuat untuk merevi dan membuat kebijakan yang memang betul-betul melindungi anak Indonesia. Bukan sebagai tindakan yang reaktif sesaat.

Secara global, jika membicarakan Perlindungan Anak , umumnya merujuk pada  KHA pasal 19 yaitu negara negara peserta akan mengambil semua langkah langah legislatif , administratif, sosial dan pendidikan untuk melindungi anak dari semua bentuk kekerasan fisik dan mental, cidera atau penyalahgunaan, penelantaran atau perlakukan salah atau eksploitasi, termasuk penyalahgunaan seksual, sementara berada  dalam asuhan orang tua, wali atau  orang lain yang memelihara anak.

UNICEF (United Nations of Children's Fund) menggunakan istilah perlindungan anak untuk merujuk pada pencegahan dan tanggapan/respon  terhadap kekerasan, eksploitasi, dan penyalagunaan pada anak – termasuk  eksploitasi sexual komersial,  perdagangan manusia, pekerja anak, dan praktek praktek tradisional yang berbahaya seperti sunat pada anak perempuan dan perkawinan anak[1].

Dalam  Konvensi Hak Anak (KHA) yang terdiri dari 54 pasal. Khusus untuk Hak Perlindungan “ Menjaga Keamanan dari Bahaya”[2], protection list by UNICEF menyebutkan beberapa article terkait perlindungan anak antara lain:  Pasal 4 (Hak Perlindungan): Pasal 11 (Penculikan); Pasal 19 (Perlindungan dari segala bentuk kekerasan); Pasal 20 (Anak-anak kehilangan dari lingkungan keluarga);  Pasal 21 (Adopsi): Pasal 22 (Anak-anak pengungsi); Pasal 32 (pekerja anak): Pasal 33 (penyalahgunaan obat/Napza); Pasal 34 (Eksploitasi seksual); Pasal 35 (penculikan, penjualan dan perdagangan): Pasal 36 (bentuk lain dari eksploitasi); Pasal 37 (Penahanan dan hukuman); Pasal 38 (Perang dan konflik bersenjata): Pasal 39 (Rehabilitasi dari korban anak): Pasal 40 (keadilan Juvenile); Pasal 41 (Menghormati standar nasional superior)

Jika mengkaji UUPA No 23/2002,  terdiri dari 93 pasal  yang berisikan tentang: bagian 1. Pengertian Anak; bagian 2. Pelindungan Anak (Definisi Anak; Kewajiban dan Tanggungjawab negara dan Pemerintah; Kewajiban dan Tanggung Jawab Orangtua; Kewajiban dan Tangungjawab Keluarga); bagian 3. Penyelenggaraan Perlindungan Anak (Asas Perlindungan, Penyelenggaraan Perlindungan di Bidang Agama; Penyelenggaraan Perlindungan Anak di Bidang Kesehetan; Penyelenggaraan Perlindungan Anak di Bidang Pendidikan; Penyelenggaraan Pelindungan di Bidang Sosial; Penyelenggaraan Pelindungan di Bidang Perlindungan Khusus); bagian 4. Hak dan Kewajiban Anak (Hak Anak dan Kewajiban Anak); bagian 5. Kedudukan Anak (Definisi Kedudukan Anak; Identitas Anak Dalam Akta Kelahiran; Kedudukan Anak dari Perkawinan Campuran); bagian 6. Bentuk Alternatif Orangtua Pengganti (Orangtua Asuh dan Pengasuhan, Pengangkatan Anak); bagian 7. Peran masyarakat dalam perlindungan anak; bagian 8. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (Definisi KPAI; Keanggotaan KPAI; Tugas KPAI); 9. Ketentuan pidana di dalam UUPA[3]

Jika kita mencermati apa yang tersaji dalam UUPA no 23/2002, jelas kita melihat perbedaan yang sangat significant di UUPA, antara lain:
§  UUPA lebih  menjelaskan pada Perlindungan Hak Hak Anak dari pada Perlindungan Anak itu sendiri (lihat bagian 3 paragrap di atas) yaitu Penyelenggaraan Perlindungan di Bidang Agama, Kesehatan, Pendidikan, Sosial dan Perlindungan Khusus.  

§  Isi UUPA lebih menekankan pada pengasuhan dan pidana hukum atau ancaman. Tidak mengacu pada pencegahan dan tanggapan/respon, seperti yang sudah banyak dilakukan oleh lembaga lembaga (INGOs dan NGO) yang fokus pada anak.  (coba anda search  kata “pencegahan” di UUPA, hanya ada 3 kata, dan 1 kata “mencegah”).

§  UUPA no 23 /2002 ini lebih tepat digunakan pada pelaku dewasa dan tidak tepat jika di gunakan pada pelaku (baca: korban) masih dalam usia anak. Bagaimana kalau pelakunya adalah anak, apakah mereka layak untuk dihukum selama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 300.000,000 (tiga ratus juta). Untuk Pelaku anak saat ini (Anak yang berkonflik dengan Hukum) sudah ada Undang Undang Sistem Peradilan Anak no 11/2012.

§  UUPA no 23/2002 menjelaskan adanya kewajiban anak (pasal 19) yang isinya adalah a) mengormati orang tua, wali, dan guru; b) mencintai keluarga, masyarakat dan menyayangi teman; c) mencintai tanah air, bangsa dan negara; d) menunaikan ibadah seuai dengan ajran agamanya dan ; e) melaksanakan etika dan ahklak mulia. Sebagaimana yang kita ketahui HAK adalah sesuai yang melekat dalam diri manusia sejak lahir, sehingga tidak ada unsur kewajiban yang melekat pada setiap orang. Kewajiban yang disebutkan dalam UUPA ini juga sulit untuk di ukur atau dijelaskan apa tolok ukurnya karena lebih bersifat pada norma dan agidah. Misalnya, menghormati orang tua, mencintai keluarga, melaksanakan etika dan ahlak mulia, dll

§  Akte kelahiran yang tidak masuk dalam protection list by Unicef, tetapi  tergambar dengan jelas di UUPA. Di dalam KHA memasukan Akta Kelahiran berada dalam kluster 4 yaitu Hak dan Kebebasan Sipil (ps 7-8, 13-17, 37[a]). Pembuatan Akta Kelahiran di UUPA di sebutkan tidak dikenakan biaya, tetapi pada kenyataannnya pembuatan Akta Kelahiran ini masih dipungut biaya dan sangat ribet dalam menyiakan dokumen dokumen persyaratannya.

§  Bagi Anda sebagai masyarakat, UUPA ini akan sangat membahayakan karena “jika anda tahu dan dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat daalam pasal 60 dan pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus di bantu, anda bisa dipidana penjara paling lama 5 tahun dan atau denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah)

§  Satu hal yang cukup memprihatinkan, uang atau denda yang di pungut dalam UUPA ini tidak belum ada kompensasi yang jelas bagi para korbannya sendiri. Seolah olah, negara memungut uang dari hasil kejahatan seseorang terhadap anak dan tidak ada/belum ada mekanisme yang dirasakan langsung oleh korban itu sendiri.

Besar harapan, jika memang jadi merevisi undang undang perlindungan anak, semoga dilakukan kajian mendalam. UUPA betul betul bergerak memprioritaskan layanan pencegahan,  menyediakan layanan respon dan rehabilitasi yang komprehensif. Memperbaiki konten yang spesifik dengan perlindungan anak dan tidak melebar pada pemenuhan Hak Hak Anak. Membatasi usia minimum pelaku yang dikenakan pada pasal ancaman dan memasukkan unsur/ mekanisme jika pelakunya adalah anak. Membuat efek jera pada pelaku dewasa sehingga tidak lagi mengulangi perbuatan mereka. Membuat mekanisme yang jelas bagi korban sehingga betul betul hak hak mereka terpenuhi dan tidak menjadi korban lagi akibat layanan pemerintah yang tidak responsif. Menguatkan peran serta orangtua, keluarga dan masyarakat dalam menyediakan layanan pencegahan (community based child protection) . Mengacu pada hasil UN Study Violence Against Children (2006)[4] yaitu perlindungan anak pada setting Rumah dan Keluarga; Sekolah dan Pendidikan; Institusi dan Penjara; Tempat Kerja, serta di Masyarakat. Serta memasukkan kekerasan anak di dunia Dunia Maya (violence in the virtual world).

Semoga, kita bisa benar-benar bisa melindungi anak Indonesia dan tetap mengacu pada kepentingan yang terbaik pada anak (the best interest of child)

 



[1] http://www.unicef.org/chinese/protection/files/What_is_Child_Protection.pdf
[2] Protection _list by Unicef
[3] Perlindungan Anak, berdasarkan UUPA No 23/2002 Tentang Perlindungan Anak, unicef.
[4] www.violencestudy.org/
 

No comments:

Post a Comment